Ada yang keliru jika kita membayangkan Arafah sebagai cerminan kecil dari hari pengadilan di akhirat. Padang terbuka itu bukan tempat Allah menghukum, bukan pula saat manusia diinterogasi untuk dosa-dosa yang mereka sembunyikan. Arafah bukan ruang interogasi. Ia bukan mimbar penghakiman. Arafah adalah pangkuan cinta. Sebuah ruang luas tempat Allah membuka pelukan-Nya, bukan menunjukkan cambuk-Nya. Betapa sering orang menyamakan Arafah dengan suasana hari kiamat, seolah mereka datang ke sana untuk menanti vonis. Tapi siapa yang menatap lebih dalam akan menemukan bahwa Arafah justru merupakan antitesis dari hari penghakiman. Jika di hari kiamat setiap manusia diminta pertanggungjawaban, maka di Arafah justru manusia diminta untuk meletakkan beban itu dan kembali menjadi hamba. Di sana tak ada pertanyaan, hanya penerimaan. Tak ada penghakiman, hanya undangan pulang. Allah Swt berfirman: “قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ” “Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53) Para jamaah haji datang ke Arafah bukan untuk disingkap aib-aibnya, melainkan untuk disembuhkan luka-lukanya. Mereka datang dengan cacat dan ketidaksempurnaan, namun justru itulah yang membuat mereka layak untuk disucikan. Karena Arafah bukan medan penolakan bagi yang terjatuh, melainkan pelabuhan kasih sayang yang menyambut siapa saja yang ingin pulang. Rasulullah ﷺ bersabda: يوم عرفة... يوم تُعتق فيه رقاب الناس من النار “Hari Arafah adalah hari di mana Allah membebaskan banyak hamba-Nya dari api neraka.” (HR. Muslim) Seorang ulama sufi berkata, “Di hari Arafah, Allah tidak menunggu alasan. Dia hanya menunggu pelukan dari hati yang jujur.” Maka tak perlu membawa banyak kata, cukup datang dengan wajah yang letih dan dada yang terbuka. Tak perlu air mata yang deras, cukup satu tarikan napas yang penuh kesadaran, dan langit pun akan bersaksi bahwa kau benar-benar datang dengan segenap jiwamu. Allah tidak mengundang manusia ke Arafah untuk membuat mereka takut. Bahkan dalam hadis, Rasulullah ﷺ menggambarkan bagaimana Allah mendekat pada para hamba di hari itu dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat-Nya. Apa yang Allah banggakan? Bukan karena mereka kuat, atau karena mereka alim, atau karena mereka membawa prestasi. Tapi karena mereka hadir, karena mereka rela datang sebagai hamba, tanpa topeng, tanpa pencitraan. Di padang hening itu, manusia belajar merengkuh kepingan dirinya yang rapuh, lalu mempersembahkannya kepada Allah Swt., dalam kepasrahan yang utuh. Hal ini diperkuat oleh hadis: “Pada hari Arafah, Allah turun ke langit dunia, lalu berkata, ‘Hai hamba-Ku, Aku mendekat kepada kamu, dan Aku bangga dengan kamu di hadapan para malaikat, karena kamu datang dalam keadaan lemah dan mengaku bahwa kamu lemah.’” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi) Dalam dunia yang keras dan penuh penilaian, Arafah tampil seperti oase jiwa. Di luar sana, manusia diukur dari pencapaian. Namun di sini, tak satu pun kebesaran yang layak ditonjolkan. Satu-satunya nilai adalah kesadaran. Sadar bahwa kita lemah. Sadar bahwa kita tak punya kekuatan selain yang diberikan-Nya. Sadar bahwa selama ini kita terlalu sering jauh, namun tetap diundang pulang. Allah Swt berfirman: “وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku...” (QS. Al-Baqarah: 186)
Arafah mengajarkan bahwa Allah tidak menanti kesempurnaan manusia untuk memberi ampunan. Justru pengampunan-Nya mendahului kesempurnaan. Rahmat-Nya mendahului kelayakan. Bisa jadi, ampunan itu telah ditulis jauh sebelum langkah kita tiba, agar ketika kita berdiri di bawah mentari Arafah, kita sadar bahwa cinta-Nya mendahului setiap usaha kita untuk layak dicintai. Maka jangan pernah datang ke Arafah dengan ketakutan. Datanglah dengan harapan. Jangan sujud dengan rasa khawatir akan penghakiman yang menanti. Bersujudlah karena Engkau tahu Allah rindu mendengarkan suara hatimu yang paling jujur. Dalam Arafah, Tuhan tidak menuntut jawaban. Dia hanya meminta agar kita berhenti sejenak dari semua pelarian, dan kembali kepada-Nya. Arafah adalah rumah yang membuka pintunya tanpa menanyakan apa yang kau bawa. Ia tidak menolak siapa pun. Bahkan yang tak sanggup bicara pun diterima. Yang tak punya air mata pun didengar. Tak ada syarat bahasa. Tak ada format formalitas. Satu-satunya hal yang ditunggu adalah: kehadiran yang tulus. Arafah bukan tempat menilai siapa yang paling suci. Tempat itu menjadi ruang di mana setiap jiwa, meski penuh luka dan kelam, diberi kesempatan untuk memandang cahaya. Maka datanglah bukan untuk dinilai, tapi untuk dicintai. Di sanalah kita belajar melepaskan topeng, menerima keterbatasan diri, dan merasakan kasih Ilahi yang tanpa syarat sebuah undangan abadi untuk kembali, berdamai, dan tumbuh dalam rahmat-Nya yang tak berkesudahan. Ya Allah, terimalah dengan Rahmat dan kasih sayangmu, seluruh saudara kami yang sedang melaksanakan ibadah haji. **