“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang banyak (Arafah), dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 199)
Wukuf adalah Rukun Haji. Siapa yang meninggalkannya, hajinya tidak sah. Waktunya pun telah ditetapkan: dari matahari tergelincir pada tanggal 9 Dzulhijjah hingga fajar menyingsing pada malam Idul Adha. Begitulah hukumnya. Tapi kita jangan berhenti hanya pada batas formal hukum, sebab di balik tuntunan fikih, terbentang luas samudera rahasia spiritual yang tak terukur yang hanya dapat dirasakan oleh hati yang hidup.
Di Arafah, tak ada keindahan arsitektur yang memesona seperti di Masjidil Haram. Tak ada Ka‘bah, tak ada marmer putih, tak ada jam besar yang menunjuk waktu. Yang ada hanyalah langit yang terbuka, tanah yang berdebu, angin yang menyapu tenda-tenda yang lusuh. Keadaan itu seakan menanti tangisan dan bisikan jiwa orang-orang yang datang membawa beban dosa, tunduk berlutut dalam kerendahan, memanggil dan memohon kepada Zat yang Maha Pengasih dan Maha Menerima Tobat. “Ya Allah, ampuni aku hambamu yang durhaka. Ampunkan aku Ya Allah dan Terimalah tobatku”.
Di Arafah, saat wukuf itu, di tanah yang luas dan sunyi ini, manusia berdiri, bukan untuk menunjukkan kekuatan, tapi untuk mengakui kelemahan. Ia tidak datang untuk menawarkan prestasi, tapi untuk mengakui keterbatasan. Ia datang untuk hadir, sepenuhnya hadir. Sebagian berdiri dan menangis. Sebagian duduk dan terdiam. Sebagian membacakan daftar panjang doa-doa, dan sebagian lain hanya menatap langit sambil membiarkan air mata mengalir tanpa kata. Di sana, manusia tidak memohon karena merasa pantas, tetapi karena tahu bahwa hanya rahmat-Nya lah satu-satunya sandaran.
Arafah bukan tentang banyaknya dzikir yang terlafaz, atau lamanya tangan terangkat. Cukup hadir, berdiri, duduk, atau bahkan hanya bernafas dalam sadar, maka itu sudah disebut Wukuf. Ia adalah ruang batin tempat seorang hamba memeriksa dirinya: “Sudah sejauh mana aku menempuh jalan menuju-Mu, Ya Allah? Ataukah selama ini aku hanya berputar-putar dalam bayang-bayang diriku sendiri?”
Wukuf dalam wujud sederhana seperti itu, mengandung sesuatu yang tak dapat dijelaskan, kecuali oleh mereka yang dengan sengaja membuka tabir penutup hatinya. Di sini seorang hamba mendekat, sedekat-dekatnya kepada Tuhannya. Menanggalkan dunia dan mendengarkan gema kehadiran Tuhan dalam hatinya. Di sini bukan fisik yang bertemu, melainkan ruh yang menengadah, bermohon dengan do’a.
Arafah, tempat wukuf itu, bukan hanya tempat, namun ia adalah sebuah keadaan batin, ruang sunyi tempat ruh kembali menengadah, membawa serta dosa-dosa dengan penuh kesadaran dan pengakuan. Di sanalah, segala pelanggaran diletakkan di hadapan Allah, tanpa pembelaan, tanpa alasan, hanya dengan satu tujuan: agar diampuni. Cukup berdiri —diam dan hadir sepenuhnya. Sebab hanya dengan hadir secara utuh, manusia akan mampu mendengar suara paling lembut dari dalam dirinya sendiri, suara yang selama ini tertutup oleh hiruk-pikuk dunia luar.
Di Arafah, keheningan menjadi guru. Ia mengingatkan bahwa betapa pun kita dikelilingi oleh kebisingan dunia, sesungguhnya kita sering sunyi dari suara ruhani. Kita pandai mendengarkan dunia, tetapi lalai mendengarkan jiwa. Hari Arafah adalah hari cinta dan pengampunan. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada hari di mana Allah lebih banyak membebaskan manusia dari neraka selain hari Arafah. Dan sungguh, Allah mendekat dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat seraya berkata: ‘Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim)
Di sini Allah Swt bertanya. Apa yang mereka inginkan? Pertanyaan ini bukan karena Allah tidak tahu. Tapi karena Allah ingin seluruh langit menjadi saksi: bahwa hamba-hamba-Nya datang dengan harapan, bukan ketakutan; dengan tangis, bukan pembenaran; dengan keyakinan, bukan keraguan.
Imam al-Ghazali mengisyaratkan bahwa, inti dari wuquf adalah kehadiran hati dalam penghambaan yang total. Bukan tubuh yang berada di Arafah yang diharapkan Allah, tapi hati yang terbuka untuk disinari cahaya pengampunan. Inilah saat ketika seorang hamba kembali pada mi’rajnya, naik menuju keagungan Tuhannya, bukan dengan tubuh, tapi dengan hati dan rasa rindu yang memuncak.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Al-Ḥajju 'Arafah", haji adalah Arafah. Karena di sanalah esensi haji tercapai: ketika manusia menanggalkan kebesaran dirinya dan mengenakan pakaian ketundukan. Ia datang sebagai hamba yang tahu diri, yang tidak meminta kecuali ampunan, dan tidak berharap kecuali cinta. Ulama sufi pernah berkata, “Wukuf adalah saat ketika engkau benar-benar berhenti, bukan hanya langkah kakimu, tetapi juga keinginanmu.”
Wukuf tidak memerlukan banyak gerak, tapi dalam diam mampu mengguncang batin. Ia tidak menuntut banyak ilmu, tetapi mampu menyadarkan hakikat hidup. Wukuf adalah ketika kita membawa seluruh kegagalan, dosa, penyesalan, dan harapan, lalu meletakkannya di hadapan Allah tanpa alasan dan tanpa pembelaan. Sebab jiwa tahu bahwa ia Memiliki Allah.
Haji telah mencapai puncaknya bukan pada jumlah ritual yang dilakukan, tapi pada titik pasrah yang benar-benar dijalani. Dan puncak itu bernama: Wukuf. Wahai para pejalan ke rumah-Nya, bersihkanlah bejana hatimu sebelum melangkah ke Arafah. Bukan raga dan bekal dunia yang paling dibutuhkan di sana, melainkan jiwa yang rindu dan ruh yang siap luluh. Hadir dan wukuflah di Arafah bukan sebagai tubuh yang berdiam, tetapi sebagai ruh yang kembali. Jangan engkau sibukkan dirimu dengan bayangan dunia, sementara pintu langit sedang terbuka untuk mendengarmu. Arafah bukan tempat menoleh kesana kemari, tapi ruang suci untuk tenggelam dalam tangis penyerahan. Di Titik Hening Seorang Hamba Berdiri, untuk Tobat kepada Allah Swt. Allahumma ij'alhu hajjan Mabrura. *