Tanggal 8 Zulhijjah dikenal sebagai Hari Tarwiah. Hari yang membuka langkah suci menuju Arafah. Jamaah haji dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Indonesia, yang telah beberapa hari bermukim di Makkah, kini kembali mengenakan pakaian ihram. Namun kali ini bukan untuk umrah, melainkan untuk menunaikan ibadah haji. Di kamar-kamar hotel dan perumahan, para tamu Allah mandi ihram, mengenakan dua helai kain putih tanpa jahitan, lalu mengucapkan kalimat yang menggema dari zaman Nabi: Labbaik Allahumma Hajjan (“Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, untuk berhaji.”) Sejak niat haji itu terucap, jamaah pun kembali masuk dalam keadaan ihram. Larangan-larangan ihram kembali berlaku. Jamaah dilarang memotong kuku, mencukur rambut, memakai wangi-wangian, bertengkar, berkata kotor, hingga berbuat fasik, dan hal-hal lain yang dapat mencederai kehormatan ihram dan ibadah haji. Di balik larangan-larangan itu tersembunyi pesan yang lebih halus dan dalam: bahwa seorang hamba sedang dipanggil untuk menyucikan dirinya, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara ruhani. Ia diminta untuk meninggalkan dunia luar agar dapat memasuki ruang batin yang lebih jernih, lebih hening. Secara bahasa, Tarwiyah berarti “mengisi air.” Di masa silam, para jamaah mengisi kantong-kantong air untuk bekal ke Arafah yang jauh dan kering. Namun dalam pandangan ruhani, Tarwiyah bukan hanya pengisian air fisik, melainkan pengisian jiwa. Hari ini bukan hanya soal bekal logistik, tapi juga bekal batin. Hari ini adalah momen untuk mengisi hati dengan keyakinan, menguatkan niat, menyucikan jiwa, dan mengosongkan segala selain Allah. Hari Tarwiyah adalah ajakan untuk meletakkan dan melepaskan beban dunia yang selama ini kita pikul: dendam, luka lama, keinginan untuk dipuji, ambisi, ego yang tersembunyi. Seluruhnya diharapkan untuk ditanggalkan, dilepaskan dari hati. Hari ini adalah titik tolak menuju Allah dengan bekal taqwa. وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ "Berbekallah, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197) Imam al-Ghazali pernah berujar, “Barangsiapa ingin menempuh jalan menuju Allah, maka langkah pertamanya adalah menanggalkan dunia dari hatinya, bukan dari tangannya.” Ungkapan ini bermakna bahwa Dunia tak harus ditinggalkan secara fisik, cukup keluarkan ia dari dalam qalbu. Karena tidak ada ruang bagi cinta sejati jika hati masih sesak oleh bayangan dunia. Ibn ‘Athaillah As Sakandary juga berpesan. كَيْفَ يُشْرِقُ قَلْبٌ صُوَرُ الْأَكْوَانِ مُنْطَبِعَةٌ فِي مِرْآتِهِ؟ "Bagaimana mungkin hati bisa bersinar jika gambar-gambar dunia masih menempel di cerminnya?" Hari Tarwiyah adalah awal dari pelepasan. Ia adalah miqat batin sebelum wuquf, ruang persiapan untuk bertemu Allah di puncak haji. Ibarat cermin yang hendak menangkap cahaya, qalbu kita harus dibersihkan dari debu dunia agar pantulan cahaya Ilahi bisa tampak jernih. Di Hari Tarwiah ini, kita tidak hanya ingin berangkat ke Mina lalu ke Arafah, tetapi ini adalah hari keberangkatan menuju kedalaman diri. Periksa bukan hanya koper dan tas beserta segala kebutuhan, tapi juga penting memeriksa hati: apakah ia sudah lapang? Apakah niatnya murni? Apakah ia siap menyatu dalam kehadiran Allah? Ihram yang kita kenakan hari ini adalah kafan simbolis. Dua lembar kain putih yang membungkus tubuh bukan hanya busana ibadah, tapi ia adalah lambang kematian kecil. isyarat bahwa kita sedang menuju padang Mahsyar mini di Arafah, tempat seluruh manusia berkumpul tanpa beda, tanpa jabatan, tanpa nama, tanpa kuasa. Hanya ada satu identitas yang tersisa: 'Abdullah (hamba Allah). Hari Tarwiah adalah panggilan untuk bercermin. Bukan hanya untuk mengecek daftar perlengkapan, tetapi untuk mengecek tujuan hidup. Kita diundang ke rumah-Nya bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai kekasih yang ingin pulang. Maka bersihkan hati dari segala syubhat dan syahwat, agar perjalanan ini tidak menjadi ritual kosong, tetapi menjadi penempuhan makna. Pesan hari Tarwiyah: “Bersiaplah, bukan hanya dengan raga, tapi juga dengan jiwa.” Jangan hanya merapikan pakaian, tapi rapikan pula niat. Jangan hanya membawa makanan, tapi juga bawa kerinduan. Karena ini bukan perjalanan biasa, ini adalah panggilan pribadi dari Tuhanmu. Dalam keheningan malam dan hari Tarwiyah, tundukkan hati dan panjatkan doa: Ya Allah, hari ini kami berjalan bukan hanya menuju Mina, tapi menuju-Mu. Jadikan setiap langkah kami sebagai penebus dosa, setiap peluh kami sebagai penyubur ruh dan jiwa, setiap niat kami, jadikan sebagai lentera yang menerangi gelapnya hati kami. Tanggalkan dari kami pakaian kemunafikan, gantikan dengan pakaian keikhlasan. Angkat hijab antara kami dan Engkau. Biarkan kami datang bukan dengan gelar, tapi dengan air mata taubat yang jujur dan rindu yang tulus. Tarwiyah adalah cermin sebelum Arafah. Sebuah undangan dan persiapan yang mengajak kita bertanya: Sudahkah aku siap datang kepada-Nya, dengan hati yang bersih, niat yang jernih, dan jiwa yang ringan? Karena pada akhirnya, bukan kekuatan fisik yang mengantarkan kita ke puncak haji, tapi ketulusan hati, pertobatan murni, dan kepasrahan bulat hanya KepadaNYA. *