Ibarat seorang tamu, bulan Ramadan selalu dinantikan kedatangannya oleh kaum Muslim. Biasanya, tamu yang paling dinantikan adalah yang setiap kali datang, ia membawa banyak oleh-oleh. Samahalnya, kedatangan Ramadan begitu dirindukan oleh kaum Muslim karena bersamanya ikut pula aneka bonus pahala dan satu hadiah kejutan. Teks-teks agama sudah mengulas tentang jenis dan kuantitas pahala bagi hampir semua ritual yang dijalani selama Ramadan. Juga hadiah kejutan berupa mega bonus kemuliaan bagi yang beruntung menjumpai malam lailatulqadar.

Kurang lebih, begitulah persepsi dan resepsi kaum Muslim umumnya terhadap bulan Ramadan. Tak heran, persis di detik pertama Ramadan tiba, pola dan intensitas beribadah kaum Muslim sontak berubah. Jenis dan kuantitas salat-salat sunnah pun bertambah. Frekuensi dan durasi membaca Qur’an meningkat tajam. Aksi filantropi juga tetiba semarak. Ringkasnya, terjadi intensifikasi, akselerasi, dan akumulasi ritual individual dan komunal yang luar biasa.

Jangan lupa pula mencermati perubahan dimensi performatif agama yang lebih bersifat simbolik. Saat Ramadan tiba, masjid-masjid serta-merta disesaki jemaah, terutama di waktu salat isya dan subuh. Demikian juga, banyak ragam dan gaya busana yang dipersepsi sebagai busana Islami, atau “syar’i”, menjadi trendi dan masif dikenakan. Terutama oleh anak-anak dan remaja Muslim.

Malahan, kerap kali berbusana Muslim atau Muslimah jadi justifikasi bagi pengendara motor dalam segala umur untuk tidak mengenakan helm pengaman selama Ramadan. Seakan-akan kopiah atau mukena dapat menggantikan fungsi helm yang sudah terbukti secara ilmiah melindungi kepala jika kecelakaan terburuk terjadi saat berkendara. Saya jadi teringat dengan satu ungkapan dalam bahasa Arab, yang bahkan diyakini sebagai satu hadis sahih, bahwa “Agama adalah akal, tidak ada agama tanpa akal”.

Yang lebih menarik lagi, tentu saja, adalah pola konsumsi masyarakat yang berubah drastis. Semua Muslim tahu bahwa Ramadan terutama sekali adalah bulan "puasa". Atau, satu-satunya bulan di mana kaum Muslim wajib menjalani ritual puasa. Karena itu, idealnya tingkat konsumsi dan ragam kuliner masyarakat Muslim seharusnya bisa lebih berkurang.

Faktanya malah terbalik, konsumtivisme kuliner malah meningkat tajam. Pasar tumpah yang menawarkan berbagai jenis penganan berbuka bisa dijumpai di banyak pinggiran jalan dan sudut kota. Pesta-pesta makan besar dan mewah juga bermunculan di banyak tempat, walau dibingkai dengan istilah buka puasa bersama. Bahkan, jika bulan Ramadan kebetulan beririsan dengan masa-masa menjelang Pilpres atau Pilkada, bisa diduga acara buka puasa bersama bakal lebih sistematis, terstruktur, dan masif dibanding di tahun jeda-politik.

Walhasil, sebagai tamu, Ramadan selalu disambut antusias oleh kaum Muslim secara global. Setiap kedatangannya memantik keyakinan sekaligus harapan dan kegembiraan. Jika diringkaskan, aktivitas Ramadan kaum Muslim, khususnya di Indonesia, terangkum dalam 5F: faith (keyakinan), food (makanan), fashion (pakaian), persaudaraan (fraternity), dan fun (kesenangan).

Karena itulah, sengaja tulisan ini memilih judul “Selamat Kedatangan Ramadan” karena mengandung makna tertentu. Yaitu, semacam ucapan selamat kepada mereka yang kini memiliki alasan bersenang-senang dengan 5F seiring dengan kedatangan Ramadan!

Ucapan “Selamat Kedatangan Ramadan” berbeda nuansa dan maknanya dengan ucapan “Selamat Datang Ramadan” (Marhaban yaa Ramadhan). Ucapan terakhir ini lebih bermakna jika digemakan oleh mereka yang telah memiliki kesiapan dan kelapangan spiritual menyambut Ramadan. Mereka yang bersiap mengubah atau mentransformasi diri (tagyir). Atau bahkan bertekad mengalami keluluhan eksistensial (fana') bersama tamu agung bernama Ramadan itu.

Bagi kelompok kedua ini, kedatangan Ramadan memantik dua keadaan mental yang berbeda, yaitu kecemasan sekaligus harapan (al-khauf wa al-rajâ’). Mereka berharap akan melakukan pertobatan, mendapatkan pengampunan, dan mendekatkan diri pada Allah. Tapi mereka juga cemas, jangan sampai Ramadan segera berlalu, sementara mereka hanya mampu mengakumulasi pengalaman lapar dan dahaga, tanpa mengalami transformasi diri menjadi manusia yang lebih tawadu, bersyukur, solider, toleran, dan mampu mengendalikan diri. Dengan kata lain, menjadi manusia yang bukan sekadar “ramadhani” tetapi juga “manusiawi" dan "ruhani” [1/2 Ramadan 1445]

----
(1) Tulisan lawas (2021) yg pesannya semoga masih relevan untuk Ramadan 1445/2024.
(2) Sumber, Wahyuddin Halim, "Taat Ritual Tuna Sosial: Etnografi Reflektif atas Tradisi Ramadan Kaum Muslim Indonesia" (Makassar: Carabaca, 2021), Bagian I, #1, h. 14-17