Betapa bersyukur jiwa ini,
pernah dipertemukan dengan tiga pelita negeri:
Kang Jalal yang kukenal penuh empati,
Cak Nur, pembawa cahaya nalar tinggi,
dan Prof. Quraish, sang penafsir abadi.
Mereka bukan sekadar ulama,
namun penuntun arah di tengah gelap gulita.
Saat amanah menyapa sebagai direktur pascasarjana,
aku undang mereka berbagi cahaya.
Juga ke mimbar IMMIM,
tempat hati-hati mencari teduh dan hikmah mendalam.
Namun Cak Nur—
belum sempat kudampingi mengajar,
sebab lebih dulu dijemput Tuhan yang Maha Benar.
Kita kirimkan Al-Fatihah,
untuk sang guru bangsa yang kembali pada fitrah.
I.
Kang Jalal, kutawari jalan riset doktoral di UIN tercinta.
Kumasukkan namanya ke daftar pengajar
di Fakultas Dakwah Aluddin dan di STAIN Kendari nan bersahaja.
Karena ilmunya bukan hanya luas,
tapi mampu dikisahkan dengan kata yang pas.
Saat kulaporkan ke Menteri Agama kala itu,
Prof. Nasaruddin tersenyum penuh restu:
“Penerimaan Kang Jalal
akan mengangkat nama baik Alauddin secara menyeluruh.”
Beberapa kali pula kubawa almarhum ke Kendari,
sebab aku pula bertugas di sana sebagai pejabat sehari-hari.
II
Prof. Quraish, kutempatkan sebagai dosen utama tafsir mulia,
mengajar mahasiswa dan juga para muballigh setia.
IMMIM menjadi saksi kehadirannya yang dicinta,
bahkan Unhas dan masyarakat turut memintanya.
Mahasiswa menanti jika ia agak terlsmbat datang,
karena darinya mengalir pemahaman yang terang.
Sejak masa kuliah di Ciputat,
hingga di Makassar yang bersahabat,
tulisannya dan kehadirannya
selalu menjadi pelita dalam lorong keilmuan yang nikmat.
III
Cak Nur, aku bangga pernah menjadi mahsiswamu,
dua semester bersama, seolah hidup dalam samudra ilmu.
Tiap kata bagai butir permata,
kutulis rapi dalam buku catatan yang tak hanya satu.
Di Jakarta, tiap kajian kami meluncur ke Paramadina,
hotel Kartika jadi tempat kajian cita.
Mobil milik teman kami tumpangi bersama,
patungan beli bensin agar ilmu tetap menyala.
Aku pernah berseloroh padanya:
"Pak, mana oleh-oleh dari Jepang yang baru dikunjungi?"
Beliau tersenyum, menjawab ringan:
“Nanti di Paramadina, akan kubagikan.”
Malam itu beliau berkisah,
tentang Jepang yang menjunjung akar budaya,
tak membuang masa lalu,
tapi menyandingkan dengan masa depan yang bermakna.
Dibandingkan dengan Turki di masa Atatürk,
yang membuang tradisi, mengusir azan dari bahasa ibunya.
Cak Nur mengajarkan falsafah luhur ulama Nusantara:
المحافظة على القديم الصالح، والأخذ بالجديد الأصلح
(Memelihara tradisi lama yang masih berguna, sambil
Mengambil yang baru lebih utama).
Ole-ole seorang ilmuwan bukan berupa cendera mata,
melainkan pemikiran yang abadi nilainya.
Wassalam,
Kompleks GFM, 8 Juli 2025