Dalam rangka mewujudkan Good University Governance (GUG) pada level kampus, Kementerian Agama (Kemenag) RI melalui Inspektorat Jenderal (Itjend) telah menunjuk 7 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) sebagai pilot project. Perguruan tinggi sebagai sektor penting Kemenag memang sejatinya menjadi role model dalam diskursus good governance. Karena pada perguruan tinggilah, nilai-nilai good governance diperbincangkan, didiskusikan bahkan dibumikan.
Nilai-nilai seperti transparansi, akuntabiitas, integritas, independensi, dan keadilan sosial adalah menu sehari-hari dalam berbagai kajian akademik universitas. Dengan kata lain, perguruan tinggi adalah “rumah good governance” yang bisa menjadi tempat belajar bagi seluruh sektor lain di bawah naungan Kemenag. Belum lagi nilai-nilai tersebut diback up dengan nilai-nilai agama yang tersemat pada perguruan tinggi keagamaan.
Penunjukan UIN Alauddin Makassar dari tujuh perguruan tinggi keagamaan tentu ini menjadi kebanggaan tersendiri, tidak hanya karena kapasitas saya sebagai rektor, tetapi seluruh civitas akademika UIN Alauddin Makassar menyambut gembira penunjukan ini. Terpilihnya UIN Alauddin Makassar sebagai representasi PTKIN yang berlokus di Indonesia bagian timur tentu telah melewati kajian dan pertimbangan akademik yang serius dari pihak Itjend Kemenag.
Penulis memandang bahwa penunjukan ini tidak terlepas dari prestasi membanggakan UIN Alauddin sebagai Badan Layanan Umum (BLU) berkinerja terbaik 2023 dari Kementerian Keuangan. Kampus yang popular dengan pancacita nya ini menjadi satu-satunya universitas dalam lingkup PTKIN yang mendapatkan penghargaan prestisius tersebut. Penghargaan ini juga sekaligus sebagai bentuk rekognisi managemen pengelolaan keuangan universitas yang profesional.
Merujuk kepada visi Itjend Kemenag RI, terwujudnya Kementerian Agama yang Berintegritas dan Akuntabel, maka salah satu langkah strategis Itjend yang harus diapresiasi dalam mewujudkan GUG (berintegritas dan akuntabel) di kampus adalah memperkuat peran Satuan Pemeriksa Internal (SPI).
Keberadaan SPI di perguruan tinggi, seperti yang disampaikan oleh Bapak Irjend, memiliki peran penting sebagai alat kontrol kampus. Sesuai dengan namanya, Satuan Pemeriksa Internal menjadi perpanjangan tangan dari Itjend dalam melakukan fungsi pengawasan pada tingkat kampus. Dengan kata lain, SPI juga bisa berkordinasi secara langsung kepada Itjend.
Pada saat yang bersamaan, SPI juga mempunyai kewenangan membantu Rektor dalam melaksanakan pengawasan internal terutama terkait pelaksanaan tugas dan tanggung jawab unit kerja dalam lingkungan universitas. Ibaratnya, SPI berperan sebagai CCTV rektor untuk menghindarkan terjadinya penyimpangan, baik terkait dengan keuangan maupun dalam konteks managemen pengelolaan akademik.
Meminjam istilah Inspektur Jenderal, Bapak Faisal Ali Hasyim, SPI ibaratnya sebagai “mata dan telinga” rektor yang bertujuan untuk mengawal dan mengontrol tata Kelola kampus yang demokratis. Pada titik inilah, SPI bisa menjadi perisai universitas dalam membentengi dari berbagai kemungkinan penyimpangan.
Namun demikian, untuk mewujudkan hal tersebut, Itjend harus membangun persepsi yang sama dengan semua stakeholder perguruan tinggi. Langkah Itjend dalam melakukan pemetaan kapabilitas Satuan Pemeriksa Internal (SPI) selama bulan Oktober 2023 pada tujuh PTKIN tentu harus diapresiasi. Poin menarik dari pemetaan ini adalah perbedaan tugas dan fungsi masing-masing universitas dalam menjalankan roda organisasi SPI.
Berdasarkan temuan ini, setidaknya ada tiga komponen penguatan kapabilitas SPI, kelembagaan, SDM dan kualitas pengawasan. Secara kelembagaan, SPI sejatinya memiliki akses penuh terhadap data dan informasi, anggaran yang cukup serta pedoman kerja dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Terkait aspek ini, tentu dibutuhkan komitmen yang kuat dari pimpinan perguruan tinggi Pada aspek Sumber Daya Manusia (SDM), harus diakui bahwa SDM perguruan tinggi keagamaan terkait pengawasan masih sangat minim, terutama yang memiliki latar belakang auditing dan accounting. Begitupula pada aspek kualitas pengawasan, berbagai problem yang lahir akibat minimnya pengetahuan dan SDM yang bertalian dengan pengawasan.
Tiga komponen di atas pada gilirannya menjadi skala prioritas Itjend dalam melakukan penguatan kapabilitas SPI pada tingkat universitas. Penulis optimis, jika tiga komponen ini berhasil dikuatkan, maka SPI sebagai perisai universitas akan berwujud dari cita menjadi nyata.