Gambar “Santri Malas di Pesantren Ruhaniah” (9)

Seluruh rangkaian ibadah di bulan Ramadan biasa disematkan fungsi kurikulum “madrasah ruhaniah”, yaitu sekolah untuk mencetak manusia-manusia bergelar muttaqin (orang-orang bertakwa). Namun, dalam tulisan ini, kata madrasah diganti menjadi pesantren. Walau keduanya tidak selalu identik. Cukup menarik mengibaratkan proses belajar di pesantren dengan proses menempa diri dalam bulan suci Ramadan.

Di pesantren (yang di dalamnya terdapat madrasah), untuk menjadi tamatan yang baik, seorang santri harus menempuh semua proses pembelajaran. Ada program formal seperti madrasah, ada juga nonformal seperti halaqah (mappasantren).
 
Namun, agar menjadi luaran ideal dari satu pesantren, prosesnya tentu tak mudah. Selain harus bersabar dalam mengikuti setiap tahap pembelajaran dalam waktu lama, seorang santri juga harus mampu menghayati setiap pelajaran. Dalam banyak kasus, ada santri yang dapat mencapai tahap akhir dalam program pesantren walau tidak memiliki dan memenuhi kualifikasi tamatan pesantren yang ideal. Kok bisa?

Pertama, dia masuk pesantren mungkin karena terpaksa saja. Misalnya karena kehendak sepihak dari orang tuanya saja. Orang tuanya berharap, anaknya yang malas, nakal, kurang disiplin, dan tidak mau patuh pada mereka, itu dapat “dijinakkan” di pesantren. 

Maka bagi santri seperti ini, hidup di pesantren hanya menjadi beban dan derita saja. Itu sebabnya, selama masa nyantri atau mondok, dia hanya belajar sekadarnya saja. Yang penting tidak dimarahi orang tua. Tiap hari dia masuk kelas atau ikut halaqah, walau sebenarnya dia tak (berusaha) memahami pelajaran.

Kedua, boleh jadi dia menganggap pesantren itu perlu tapi targetnya yang penting lulus. Kelulusan dipahami sebagai sebatas pencapaian nilai kuantitatif di kelas-kelas madrasah. Makanya, yang dikejar adalah lulus dengan nilai ujian akhir yang tinggi. Perkara apakah dia sudah memahami tujuan tertinggi pengajaran tiap mata pelajaran, itu adalah soal lain. 

Cara-cara instan memperoleh nilai tinggi dalam ujian seperti menyontek atau plagiat pun dianggap biasa saja. Jika tidak dilihat guru (mudarris), pembina pesantren (murabbi), dan mata-mata (jasus), dia akan melanggar tata tertib pesantren.

Begitulah juga dengan gelagat sebagian santri di pesantren ruhaniah. Pertama, ada santri yang justru resah dan gelisah setiap kali akan masuk pesantren (baca: bulan Ramadan). Kalau bukan karena kewajiban (sebagai Muslim) dia takkan pernah mau masuk pesantren (berpuasa). 

Karena tidak disertai minat dan kesabaran, maka cara belajar dia di pesantren pun asal-asalan saja. Yang penting bisa bertahan hingga tahap terakhir (idul fitri). Soal apakah setiap pelajaran pesantren bermanfaat bagi dirinya dan menjadikannya alumni yang tekun, disiplin dan berkarakter baik (muttaqin), itu tak penting. Kerapkali dia mengeluhkan beratnya program-program pesantren. Makanya, dia tidak sepenuhnya mematuhi perintah dan larangan yang berlaku dalam pesantren (misalnya, makan sembunyi-sembunyi).

Kedua, memang dia tak banyak absen masuk kelas (baca: rajin bersalat tarawih di masjid). Namun, dia selalu memilih masjid yang ritme salatnya paling cepat (semacam kelas akselerasi). Tokh, baginya, yang penting banyaknya jumlah rakaat. Dia suka pilih-pilih mata pelajaran (ibadah). Yang rajin dia ikuti hanya yang bentuk aktivitasnya ringan dan prosentasi nilainya (pahala) tinggi.
 
Dia juga baru bergairah ikut pelajaran jika kelasnya ramai atau melibatkan banyak orang (tarawih dan bukber). Dia malas belajar sendiri (salat tahajud) di rumah. Yang juga dia sukai dari pesantren adalah setelan baju seragam (pakaian salat seperti mukena, baju gamis, dsb) dan aksesorisnya.

Walhasil, si santri memang dapat ikut bersuka-ria di acara penamatan (idul fitri), walau tak mencerminkan sosok ideal tamatan pesantren ruhaniah. Sebab, untuk berhasil meraih gelar muttaqin, atau santri disiplin, seseorang harus punya niat tulus dan minat, bahkan bangga dan cinta, berpesantren. Berikutnya, dia harus sabar, ikhlas, yakin dan optimis menjalani semua program pesantren secara kualitatif dan komprehensif, bukan kuantitatif dan selektif. 

Maka, seperti tak ada jalan pintas untuk meraih predikat alumni ideal dari satu pesantren ruhaniah, begitu juga, tidak jalan mudah, instan dan pintas meraih gelar muttaqin melalui rangkaian ibadah puasa Ramadan.
 
Seperti kata orang Inggris “No pain no gain” (tanpa derita takkan ada hasil) atau pribahasa Arab, yang sering jadi slogan di pesantren, “Man jadda, wajada” (siapa yang bersungguh-sungguh, itulah yang dapat). []
-----------
[Diadaptasi & diperluas dari dari Wahyuddin Halim, Taat Ritual Tuna Sosial: Etnografi Reflektif atas Tradisi Ramadan Kaum Muslim Indonesia (Makassar: Carabaca, 2021), Bagian I, #9, h. 46-48].