"Jika Tuhan menghendaki
tentu semua manusia akan beriman serupa,
tak berselisih jalan, tak berbeda rasa.
Namun kehendak-Nya berkata lain—
perbedaan adalah bagian dari sunatullah yang abadi,
bukan cela, tapi anugerah bagi yang mau menyelami," firman-Nya dalam kitab suci.
Ikhwanul Muslimin pernah menyindir lembut:
"Siapa pun yang bermimpi agar semua manusia
akan bersatu dalam satu rupa keyakinan,
maka ia seperti siang yang mengharap malam
atau mentari yang terbit dari barat dan tenggelam ke timur.
Ia menentang arus fitrah,
melawan hukum semesta dengan nafas sempit nan lelah."
Lihatlah Wahabi yang keras dalam puritanisme
dan muslim Indonesia yang akomodatif dalam budaya—
keduanya mengaku Ahlussunnah,
namun tafsir mereka tak selalu bersua.
Bahkan dalam satu kompleks perumahan di Sidoarjo
yang semua penghuninya mengaku mazhab NU,
terjadi tiga wajah haul yang berbeda:
yang satu reformis menolak dengan dalil,
yang kedua normatif menunaikan dengan yakin,
dan yang ketiga ikut-ikutan dalam tradisi nenek moyang.
Tiga jalan dalam satu lingkaran.
Tiga keyakinan dalam satu atap keorganisasian.
Maka...
jika dalam satu rumah bisa terjadi perbedaan,
bagaimana bisa memaksa seluruh umat seragam dalam pandangan?
Pemimpin umat, seperti Umar bin Abdul Aziz pernah berkata:
"Aku tidak suka jika sahabat Nabi tidak perbedaan.
Karena andai mereka seragam,
takkan ada rukhsah (keringanan) dalam agama."
Betapa agungnya perbedaan— ia adalah rahmat dalam pilihan,
bukan bahan pertikaian.
Ibn Abdil Barr mencatat warisan hikmah:
para mufti sering bersilang ijtihad,
yang satu menghalalkan, yang lain melarang,
namun tak satu pun menuding saudaranya tersesat atau binasa.
Karena mereka tahu:
niat tulus dalam ijtihad
adalah jembatan menuju ridha dan pahala.
Sungguh,
persatuan bukanlah pemaksaan untuk menyeragamkan,
tetapi kesediaan menerima ragam dalam kemuliaan.
Kata orang srkarang,
“Unity in diversity”—
itulah wajah umat yang dewasa dalam beragama,
yang tidak mengukur kebenaran dari satu jubah
atau mengafirmasi iman dari satu jalur sempit semata.
Jika ingin bersatu,
maka terimalah perbedaan sebagai fondasi,
seperti masuk dalam organisasi
yang lebih dahulu menerima AD dan ART-nya dengan hati.
Karena Islam adalah jalan cinta,
bukan palu pemecah kepala.
Dan umat ini akan kokoh berdiri,
hanya bila kita rela menghormati yang berbeda
dan tak tergesa menjatuhkan vonis pada yang tak sama.
Salah satu yang menjadi sedikit hambatan adalah variasi pemahaman umat Islam, jangankan satu mazhab, apalagi berbeda mazhab. "Di sinilah tugas jembatan harus siap berkurban untuk diinjak-injak dan dihina, memang perlu kesabaran dan kesiapan dalam mengantar manusia menyeberangi jembatan menggapai tujuan mulia (persatuan umat) dan saling memahami perbedaan berada."
Makassar, 12 Juli 2025
Dalam semangat ukhuwah yang merangkul dan menghargai ragam wajah umat.