Ada saat di mana langit tampak diam, tetapi bumi bergetar. Ada waktu ketika manusia merasa telah menguasai peradaban, namun sekali getaran kecil saja menjatuhkan gedung-gedung tinggi dan menyapu angan-angan yang melayang.
Aceh dan Sumatra, dua wilayah yang diberkahi tetapi diuji, dua tanah yang kuat namun rapuh, pernah menjadi saksi ketika alam berbicara dengan suara yang tidak dapat diabaikan.
Tsunami yang dahsyat, gempa yang membelah bumi, tanah yang bergerak, laut yang mengamuk, semua itu seperti kalimat-kalimat panjang dari sebuah kitab alam yang diturunkan agar manusia membaca, merenung, dan kembali kepada-Nya.
Sesungguhnya, alam tidak pernah berdusta. Ia berbicara dengan bahasa yang lebih jujur daripada lisan manusia. Ia berbicara dengan air yang meninggi, dengan angin yang menyalak, dengan tanah yang terbelah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا
"Tidaklah Kami mengirimkan tanda-tanda (peristiwa) itu melainkan sebagai peringatan."
(Al-Isrā’ : 59)
Peringatan adalah bentuk kasih Tuhan. Sebab cinta-Nya tidak selalu hadir dalam kelembutan; terkadang Ia mengetuk dengan keras agar manusia yang terlena terbangun dari tidur panjangnya.
Bencana yang menimpa Aceh dan Sumatra adalah dentang alarm spiritual peradaban, agar umat manusia kembali bertanya: “Sudahkah kami hidup sesuai amanat sebagai khalifah?”
Di balik tragedi alam, ada pendidikan Ilahi yang sering tidak terlihat. Musibah bukan semata statistik kerusakan, jumlah korban, atau analisis geologis; musibah adalah ayat (tanda) yang menyeru jiwa manusia. Allah berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ…
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia…" (Ar-Rūm : 41)
Ayat ini bukan vonis kemarahan, tetapi isyarat bahwa manusia adalah bagian dari jaringan kehidupan bumi. Ketika moral runtuh, ketika keadilan robek, ketika ketamakan memimpin tangan manusia merusak hutan, merobek bukit, dan mengabaikan tata ruang, maka alam pun ikut merasa sakit.
Sebab alam adalah amanah, dan setiap amanah yang dikhianati pasti menuntut pertanggungjawaban. Para ulama klasik sering berkata, “Alam mengikuti keadaan moral manusia.” Ibn Qayyim al-Jauziyyah menegaskan:
إِنَّ لِلْمَعَاصِي أَثَرًا فِي الأَرْضِ وَالْهَوَاءِ وَالْبِحَارِ وَالْبَرَكَةِ
"Sesungguhnya kemaksiatan itu berdampak pada bumi, udara, lautan, dan keberkahan kehidupan."
Dalam kerangka holistik, manusia tidak berdiri di atas alam, tetapi berada di dalamnya. Maka ketika hubungan spiritual manusia dengan Tuhannya melemah, hubungan ekologis dengan bumi pun ikut terganggu.
Namun musibah tidak selalu datang karena kesalahan manusia. Ia kadang menjadi ujian untuk meninggikan derajat suatu kaum. Nabi SAW. bersabda:
إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ قَوْمًا ابْتَلَاهُم
"Apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka."(HR. Tirmidzi)
Aceh (serambi Makkah) dipilih Allah untuk menerima ujian yang menggetarkan dunia. Mungkin karena cinta-Nya besar, karena derajat negeri itu ingin Allah tinggikan. Sebab setelah tsunami itu, dunia melihat Aceh bangkit dengan keteguhan yang luar biasa, masyarakatnya kembali ke masjid-masjid, kembali kepada Qur’an, dan kembali kepada solidaritas. Ini sejalan dengan firman Allah:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ… وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
"Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan dan kelaparan… dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar."(Al-Baqarah : 155)
Ujian tidak datang untuk mematahkan manusia, tetapi untuk membentuk kembali jiwanya, seperti emas yang dibakar agar murninya menguat.
Para sahabat memahami musibah sebagai kesempatan introspeksi. Umar bin Khattab r.a. berkata:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا
"Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab."
Inilah pesan terbesar musibah, introspeksi kolektif. Bukan menyalahkan korban, bukan memandang murka Allah secara sempit, tetapi menelisik kembali.
Apakah kita telah adil?, Apakah kita telah mengelola lingkungan dengan amanah?, Apakah kita masih menjaga hubungan dengan Allah?, Apakah kita masih peduli satu sama lain?
Karena Al-Qur’an menegaskan:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
"Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan kalian sendiri."( Ash-Shūrā : 30)
Ayat ini bukan tuduhan, melainkan undangan untuk berbenah terhadap apa yang telah kita perbuat dan jalani selaa ini.
Dari sisi ilmiah, gempa Sumatra, tektonik yang aktif, tsunami Aceh, semua adalah bagian dari sunnatullah kauniyyah, hukum alam yang Allah tetapkan sejak penciptaan bumi. Bumi bergerak, lempeng berinteraksi, tekanan harus dilepaskan. Allah berfirman:
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلُ
"Itulah sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu."(Al-Ahzāb : 62)
Bencana bukan pelanggaran hukum alam, bencana adalah efek alami dari hukum tersebut. Maka manusia diperintahkan bukan hanya berdoa, tetapi juga memahami sains, melakukan mitigasi, membangun kota dengan aman, dan mempersiapkan diri. Nabi SAW. bersabda:
اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
"Ikatlah untamu, kemudian bertawakallah."(HR. Tirmidzi)
Dalam konteks Aceh dan Sumatra, maknanya adalah, bangun sistem peringatan dini, tata ruang berbasis risiko, pendidikan kebencanaan, pengelolaan lingkungan, dan kesiapsiagaan masyarakat. Tawakal bukan pasrah, tawakal adalah perpaduan usaha ilmiah dan keikhlasan spiritual.
Namun lebih dari itu, musibah adalah cermin ruhani bagi setiap manusia. Ada air mata yang jatuh bukan karena kehilangan rumah, tetapi karena tersadar bahwa hidup ini rapuh.
Ada jiwa yang menggigil bukan karena dingin malam pascabencana, tetapi karena takut kepada Allah yang telah memberi teguran halus melalui alam. Allah berfirman:
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ
"Maka larilah kalian kepada Allah."
(Adz-Dzāriyāt : 50)
Dalam bencana, manusia tidak hanya kehilangan, manusia dipanggil untuk kembali pulang….pulang ke hadirat Allah, pulang ke fitrah, pulang ke nilai-nilai kemanusiaan.
Musibah Aceh dan Sumatra memanggil kita untuk membangun peradaban baru. Peradaban yang tidak hanya kuat secara teknologi, tetapi juga kokoh secara spiritual.
Peradaban yang bukan hanya mengandalkan beton dan baja, tetapi juga kejujuran, keadilan, solidaritas, dan ketaatan kepada Allah.
Peradaban yang menyatukan sains dan iman, riset kebencanaan dan doa, mitigasi dan taubat, strategi sosial dan dzikir. Sebab Rasulullah SAW. bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ… كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ
"Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang dan kepedulian mereka adalah seperti satu tubuh."
(HR. Muslim)
Aceh dan Sumatra adalah bagian dari tubuh itu. Ketika satu anggota sakit, seluruh tubuh ikut menangis.
Bencana juga mengajarkan bahwa dunia tidak abadi. Bahwa semua yang kita banggakan bisa lenyap dalam sekejap. Syaikh Ali bin Abi Thalib RA. melukiskan dunia:
إِنَّ الدُّنْيَا قَدْ رَحَلَتْ مُدْبِرَةً… وَإِنَّ الْآخِرَةَ قَدْ رَحَلَتْ مُقْبِلَةً
"Sesungguhnya dunia beranjak pergi menjauh… dan akhirat datang mendekat."
Maka siapa yang kehilangan sesuatu dalam bencana, sesungguhnya ia mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki peta hidupnya sebelum terlambat.
Pada akhirnya, ketika alam berbicara, manusia harus belajar mendengarnya. Bencana adalah guru yang keras, namun jujur.
Ia tidak meminta kemurkaan, tetapi mengajarkan kesadaran. Ia tidak memaksakan ketakutan, tetapi menunjukkan jalan pulang.
Ia tidak menghancurkan peradaban, tetapi membuka pintu bagi peradaban yang lebih baik.
Dan di antara harapan yang tersisa, masih terngiang firman Allah:
وَإِنَّ رَبَّكَ لَذُو رَحْمَةٍ لِّلنَّاسِ
"Dan sesungguhnya Tuhanmu adalah Pemilik rahmat bagi manusia."
(Yunus : 21)
Di balik setiap musibah, ada rahmat yang belum tampak.
Di balik setiap air mata, ada hikmah yang belum tersingkap.
Dan di balik setiap kehancuran, selalu ada pintu kebangkitan.
Semoga musibah diAceh dan Sumatra yang telah menelan korban jiwa menghampiri 200 jiwa dan 200 ratusan yang dinyatakan hilang juga ribuan yang luka-luka . Semoga seluruh musibah diseluruh negeri ini, kita diberi kekuatan dan ketabahan oleh Allah Rabbul Jalil dalam menerima ujian ini, dan juga menjadi hikmah besar bai kita semua untuk kembali menghadirkan diri sebagai peradaban yang bersujud, bangkit, bersih, adil, dan penuh cinta, agar bumi pun kembali damai bersama kita. Amin…!!!
#Wallahu A’lam Bishawab
Alat AksesVisi