Gambar ”RUMAH TANPA CINTA ,CINTA TANPA RUMAH: Di Mana Tempat Kita Pulang???"


Mengapa saat ini banyak rumah yang berdiri megah tapi terasa hampa, dingin dan sunyi? 


Mengapa di balik dinding yang kukuh dan lampu gantung yang gemerlap, tidak terdengar lagi doa yang lirih atau tawa yang pecah dari ruang makan keluarga? 


Mengapa ada yang tidur di ranjang empuk namun merasa sendiri, dan terasa hanya merebahkan raga saja tidak jiwanya? 


Mengapa pula ada cinta yang hangat justru hidup di luar pernikahan yang sah? 


Apakah ini karena cinta kehilangan rumahnya, atau rumah kehilangan cintanya?


Fenomena ini adalah cermin yang retak dari peradaban kita hari ini, ketika rumah tangga menjadi sebatas institusi administratif, bukan ruang batin yang dipenuhi kasih, cinta, dan keberkahan. 


Ada rumah, tapi tak ada kehangatan. Ada cinta, tapi tak punya tempat untuk berpulang. Inilah paradoks zaman yang menyentak kesadaran, rumah tanpa cinta hanyalah bangunan kosong, cinta tanpa rumah hanyalah jiwa yang melayang tanpa dermaga.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا 

وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)


Rumah tangga dalam Islam bukanlah sekadar tempat tinggal, ia adalah tempat berteduhnya jiwa. Dalam rumah yang diridhai Allah, cinta bukan sekadar emosi sesaat, tetapi jalan panjang menuju ketenangan (sakinah), kasih (rahmah), dan cinta sejati (mawaddah). 


Ketika cinta tercerabut dari akar-akar spiritualitas dan komitmen keimanan, ia menjadi kering seperti ranting patah di musim kemarau, tak mampu lagi menaungi, tak mampu lagi bersemi. Nabi Muhammad SAW. bersabda:

‏خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi)


Hadits ini mengajarkan bahwa kebaikan sejati seseorang tidak tampak dari jabatannya, hartanya, atau reputasinya di luar, tetapi dari bagaimana ia memperlakukan orang yang tinggal bersamanya di rumah (istrinya, suaminya, anak-anaknya). 


Di sinilah cinta diuji, bukan dengan janji-janji, tapi dengan kesabaran, perhatian, dan pengorbanan yang kadang tak tampak.Sayyidina Umar bin Khattab RA pernah berkata:

مَا أُعْطِيَ رَجُلٌ بَعْدَ الْإِسْلَامِ خَيْرًا مِنِ امْرَأَةٍ صَالِحَةٍ

“Tidak ada pemberian yang lebih baik bagi seorang lelaki setelah Islam selain wanita shalihah.” (HR. Thabrani)


Ungkapan ini seolah ingin menegaskan, rumah tangga yang kokoh hanya akan tumbuh dari hati-hati yang bertakwa dan dekat dengan Sang Khalik. 


Cinta sejati bukan hanya dibangun dari hasrat, tapi dari iman dan tanggung jawab. Tanpa itu, rumah hanyalah tumpukan bata. Cinta hanyalah serpihan angan.


Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin berkata:

النكاح هو سبب بقاء النسل، وهو أصل الحياة، وفيه تهذيب الأخلاق، وغض البصر، وحفظ الفرج، والراحة النفسية

“Pernikahan adalah sebab keberlangsungan keturunan, ia adalah asas kehidupan, di dalamnya terdapat pendidikan akhlak, penjagaan pandangan, penjagaan kehormatan, dan ketenangan jiwa.”


Namun kini, banyak cinta yang hidup tanpa arah. Ia menjelma menjadi hubungan tanpa ikatan, perasaan tanpa tujuan. 


Saling mencintai, namun tak pernah saling membimbing menuju kebaikan. Bahkan, sebagian justru saling menyeret ke dalam lembah dosa dengan dalih “asal saling mencintai”.


Begitulah….ada rumah tanpa cinta, mereka hidup bersama, tapi hatinya terasing. Ada cinta tanpa rumah (mereka saling mencintai), tapi tak punya keberanian atau keimanan untuk mengikatnya dalam pernikahan yang sah.


Kedua-duanya adalah ketimpangan yang membuat banyak jiwa hari ini kebingungan, tersesat dan kehilangan tempat pulang.


Maka mari kita bertanya pada diri sendiri: 

Apakah rumah kita hanyalah tempat pulang tubuh, atau juga pelabuhan bagi jiwa?


Apakah cinta kita sekadar perasaan yang menyenangkan, atau juga komitmen yang memuliakan?


Jika rumah tak dibangun atas dasar cinta dan iman, ia akan lapuk. Jika cinta tak ditanam dalam ladang pernikahan yang halal dan berkah, ia akan liar, kehilangan akar dan arah.


Sudah saatnya kita kembali merumuskan makna rumah tangga, bukan hanya tempat tinggal, tapi tempat untuk saling menumbuhkan. Bukan hanya tempat berlindung dari hujan, tapi dari kegersangan batin. Bukan sekadar ada cinta, tapi cinta yang suci dan terikat janji.


Karena sejatinya…”Cinta membutuhkan rumah untuk berlabuh, dan rumah membutuhkan cinta untuk bernapas."


Tanpa keduanya, hidup hanyalah hampa, megah tapi sunyi, ramai tapi sepi, keliahatannya bahagia namun gersang dan kebingungan.


Mari kita kembali membangun rumah-rumah kita dengan cinta, dan cinta-cinta kita dengan rumah yang diberkahi.


#Wallahu A’lam Bis-Sawab