Gambar RESONASI PEMBACA


Jejak-jejak batin yang ditinggalkan puisi

Puisi, pada hakikatnya, bukan sekadar rangkaian kata. Ia adalah percikan jiwa, yang bila tulus dan jernih memancar, dapat menyentuh batin siapa saja—tak terbatas ruang, waktu, atau profesi. Demikianlah sejumlah pembaca merespons puisi-puisi dalam buku ini. Mereka bukan sekadar pembaca, tapi saksi akan kekuatan makna yang mengalir dari bait-bait yang disusun dengan niat berbagi.

1. Dr. Suradi Yasil, budayawan dan sastrawan terkemuka dari Sulawesi Barat, menulis dengan penuh haru:

> “Empat buah puisi terakhir yang dikirim via WA ini, menurut saya, sari pati sekurang-kurangnya empat puluh jilid buku tebal-tebal!”
Subhanallah.
 Dalam kalimat singkat itu, terpantul ketakjuban seorang sastrawan atas kedalaman makna dan kerapatan nilai dari puisi yang dibacanya.

2. Dr. Wahyuddin Halim, dosen filsafat Fak. Usuluddin UIN Alauddin Makassar, beliau menyarankan agar bisa menulis beberapa puisi, kemudian disatukan dalam sebuah buku. Saya sesungguhnya penulis alamiah, menulis puisi sekedar hobbi yang belum bisa menyaingi almarhum Guru saya, Husni Djamaluddin yang sudah profesional dalam penulisan sehingga digelar Panglima Puisi. Tetapi tidak ada salahnya jika saya belajar dan saya siap jadi murid, artinya arada, yuridu, iradatan, fahuwa murid, maknanya orang yang memiliki tekad, sedang orang yang memiliki tekad tidak ada satu pun yang bisa jadi penghalang untuk sampaipada tujuan.

3. Dr. Hamzah Khaeriah
Mulanya seorang dosen dari STAIN Sorong, sekarang beliau pindah jadi Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomi Islam di UIN Alauddin Makassar. Beliau berkata dalam catatan singkatnya: "Puisi bisa dalam sebuab bentuk dakwah yang sejuk, puitis, dan menyntuh. Beliau mengakui bahwa dakwah dalam bentuk puisi bisa lebih menyentuh hati.

Dari dunia yang berbeda, seorang dosen kedokteran UIN Alauddin Makassar, Emmi Bujawati, memberikan tanggapan yang tak kalah menyentuh, sebagai balasan dari puisi "Memberi adalah Menerima (2)". Ia menulis:

> “Puisi ini seperti meneteskan cahaya ke dalam rongga dada kami yang kadang sempit oleh urusan dunia. Terima kasih sudah menyalakan kembali lilin kemanusiaan kami lewat bait-baitnya.”

Inilah getar resonasi yang tak dapat dibohongi. Getar itu datang dari puisi yang ditulis bukan sekadar untuk dibaca, tetapi untuk dihidupkan dalam hati dan perbuatan.

Wassalam,
Kompleks GPM, 5 Mei 2025