Adakah yang lebih menyakitkan daripada hidup di negeri yang tampak merdeka, namun warganya tak lagi merasa bebas untuk menghela napas?
Apakah arti demokrasi bila suara rakyat hanya menjadi gema di ruang hampa, sementara keputusan besar disusun oleh mereka yang tak pernah tidur demi ambisi kekuasaan?
Dan sampai kapan bangsa ini harus belajar bahwa republik tanpa ruang bernafas akhirnya hanya akan melahirkan generasi yang terbiasa diam, bukan karena setuju… tetapi karena tak lagi berdaya?
Demokrasi bukan hanya tentang pemilu yang rutin, gedung parlemen yang megah, atau jargon partisipasi yang terdengar manis.
Demokrasi adalah ruang bernafas, bukan sekadar mekanisme politik, tetapi oksigen sosial yang memungkinkan warganya hidup sebagai manusia utuh, yang berpikir, merasa, dan bersuara tanpa takut dibungkam oleh kekuatan yang bekerja secara senyap.
Namun kadang, dan terlalu sering kita hidup di tengah operasi halus yang tidak diumumkan, tidak ditulis, tetapi dirasakan, dimana ruang kritik yang menyempit, kebijakan yang dipaksakan, suara rakyat yang ditata ulang agar cocok dengan narasi kekuasaan.
Inilah yang oleh para ulama disebut sebagai kezhaliman sistemik, sesuatu yang bahkan tidak mampu berdiri tanpa ketidakpedulian publik.
Rasulullah SAW. telah mengingatkan:
"إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ"
“Apabila manusia melihat kezaliman dan tidak mencegahnya, sangat mungkin Allah menimpakan hukuman kepada mereka semua.” (HR. Abu Dawud)
Demokrasi yang sehat mensyaratkan keberanian moral rakyatnya, bukan sekadar memilih lima tahun sekali, tetapi menjaga api kesadaran agar tidak padam.
Karena republik yang kehilangan kesadaran akan mudah dipimpin oleh mereka yang bekerja dalam operasi senyap, menyusun kebijakan dari balik kabut, dan meyakinkan publik bahwa segala yang terjadi adalah “demi kebaikan bersama”.
Kita memasuki zaman ketika kebebasan berbicara tidak dibungkam dengan larangan, melainkan dengan pendapat yang dibanjiri, informasi yang dikaburkan, atau kebingungan yang disengaja.
Sunyi hadir bukan karena tidak ada yang bersuara, melainkan karena suara rakyat tertutup oleh megafon yang dimiliki segelintir elite. Lalu kita bertanya, apakah ini demokrasi?
Ataukah hanya dekorasi politik yang menutupi struktur kekuasaan yang terus tumbuh tanpa kontrol?
Al-Qur’an memperingatkan model kekuasaan demikian:
وَتِلْكَ الْقُرَىٰ أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا
“Dan negeri-negeri itu Kami binasakan ketika penduduknya berlaku zalim.” (QS. Al-Kahfi: 59)
Zhalim tidak selalu berarti membunuh atau menindas secara fisik, yang paling berbahaya adalah menindas secara struktural dengan senyap, halus, namun menghancurkan peradaban. Umar bin Khattab RA. berkata:
متى استعبدتم الناس وقد ولدتهم أمهاتهم أحراراً؟
“Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal ibu mereka melahirkan mereka sebagai manusia merdeka?”
Apa yang Khalifah Umar maksud bukan hanya perbudakan fisik, tetapi juga pembungkaman pikiran, peniadaan ruang musyawarah, dan penciptaan masyarakat yang hanya menjadi penonton atas tanah airnya sendiri.
Ruang bernafas dalam republik berarti ruang untuk berpikir tanpa intimidasi, kritik tanpa stigmatisasi, berbeda tanpa dicurigai, dan berpendapat tanpa dituduh membahayakan negara.
Tanpa itu, demokrasi hanya tinggal pesta, tanpa jiwa, tanpa ruh, tanpa umat yang dewasa. Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan:
فساد العلماء بفساد الحكام، وفساد الحكام بفساد الرعية.
“Rusaknya ulama karena rusaknya penguasa; dan rusaknya penguasa karena rusaknya rakyat.”
Ini artinya semua saling terkait. Negeri yang ingin sehat harus membenahi sebab-sebab yang melemahkan moral rakyat maupun pemimpinnya.
Di tengah ruang yang mengecil ini, rakyat selalu menaruh harapan pada pemimpin tertinggi. Sebab pemimpin, dalam Islam, bukan sekadar pengendali negara, tetapi penjaga keadilan publik. Rasulullah SAW. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Pemimpin adalah penggembala dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Harapan rakyat hari ini tertuju pada Presiden Prabowo Subianto, bahwa kepemimpinannya bukan hanya melanjutkan tradisi politik, tetapi menghadirkan perubahan nyata yang mengembalikan ruang bernafas rakyat, menundukkan oligarki, menghidupkan kembali keadilan ekonomi, menegakkan keberpihakan bagi yang kecil dan tertindas, serta menegakkan kedaulatan bangsa di atas kepentingan global.
Bangsa ini ingin melihat seorang presiden yang tidak larut dalam operasi senyap para elite, tetapi justru membongkar, menerangi, dan menutup celah bagi kekuatan-kekuatan yang menggerogoti negara dari dalam.
Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan kebajikan.” (QS. An-Nahl: 90).
Keadilan bukan slogan pemerintah. Ia harus menjadi arah kebijakan. Rakyat pun berharap agar Presiden Prabowo berani menghadapi tantangan besar, ketimpangan ekonomi, dominasi konglomerasi, intervensi kekuatan asing, serta jebakan politik transaksional yang selama ini membuat negara sulit bernapas.
Agar republik ini kembali segar, ada tiga kebutuhan mendesak. Negara tidak boleh takut pada warganya, sebab kritik adalah energi pembangunan. Umar berkata:
"لا خير فيكم إن لم تقولوها، ولا خير فينا إن لم نسمعها."
“Tidak ada kebaikan pada kalian jika tidak berkata jujur kepada kami; dan tidak ada kebaikan pada kami bila tidak mau mendengarnya.”
Selain itu, negara harus menundukkan oligarki. Regulasi harus berpihak pada rakyat kecil, bukan pada pemilik modal besar. Pemimpin wajib memastikan peta kekuasaan ekonomi tetap dalam genggaman negara, bukan segelintir elite.
Yang terakhir, bangsa harus memperkuat moral publik. Pendidikan karakter, dakwah yang mencerahkan, serta revitalisasi etika sosial harus menjadi agenda nasional. Sebab negara kuat bukan hanya karena infrastruktur, tetapi jiwa warganya.
Akhirnya, kita kembali ke pertanyaan awal, akankah republik ini terus hidup tanpa ruang bernafas?. Atau kita akan mulai menyadari bahwa demokrasi membutuhkan keberanian untuk menjaga, bukan hanya selebrasi untuk dirayakan?.
Harapan rakyat kini terletak pada keseriusan Presiden Prabowo Subianto dalam membuka jendela-jendela baru bagi republik ini, agar udara segar keadilan, keberpihakan, dan kedaulatan kembali mengalir ke seluruh lapisan bangsa.
Sebab bila pemimpin dan rakyat sama-sama berani memilih jalan keadilan, maka janji Allah berlaku:
وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنصُرُهُ
“Dan sungguh, Allah akan menolong siapa saja yang menolong agama-Nya.” (QS. Al-Hajj: 40)
Dan agama Allah tidak hanya hidup dalam masjid, tetapi juga dalam keberanian menegakkan keadilan, melawan kezaliman, dan menjaga republik agar tidak kehilangan oksigen kehidupan.
Semoga republik ini kembali bernafas. Semoga rakyat kembali berdaulat. Semoga pemimpinnya benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan kedaulatan negara.
#Wallahu A’lam Bishawab
Alat AksesVisi