Gambar RENDAHNYA BUDAYA BACA BANGSA INDONESIA


Di era modern ini, budaya membaca di Indonesia semakin terkikis. Dominasi gadget atau gawai dalam kehidupan sehari-hari telah menggantikan buku sebagai sumber utama pengetahuan. Bahkan, anak-anak yang seharusnya tumbuh dengan kebiasaan membaca kini lebih akrab dengan layar HP. Tidak ada aturan khusus yang membatasi penggunaannya, bahkan pada usia dini. Cucu saya, misalnya, baru berumur dua tahun, sudah mahir bermain HP. Fenomena ini semakin memprihatinkan karena berdampak langsung pada rendahnya budaya literasi di Indonesia.

Menurut catatan UNESCO, daya baca masyarakat Indonesia sangat rendah, hanya 0,01 persen. Artinya, rata-rata hanya satu buku yang dibaca oleh 1.000 orang setiap tahun. Bandingkan dengan Amerika Serikat, di mana setiap penduduk rata-rata membaca 10 hingga 20 buku per tahun. Padahal, kita adalah bangsa mayoritas Muslim yang diperintahkan dalam wahyu pertama, Iqra', untuk membaca sebagai dasar pengembangan ilmu dan peradaban.

Regulasi yang diterapkan di Australia bisa menjadi inspirasi. Di sana, penggunaan HP dibatasi hanya untuk anak usia 16 tahun ke atas. Di Indonesia, tidak ada batas usia seperti itu; yang penting anak sudah bisa memegang HP. Berdasarkan data buku Bijak Memfasilitasi Gawai karya Widyastuti dan Mohammad Suryawinata, jumlah perangkat digital di Indonesia pada 2020 mencapai 338,2 juta, melebihi jumlah penduduk yang tercatat sebanyak 272,1 juta jiwa. Lebih ironis lagi, survei menunjukkan 70% orang tua mengizinkan anak-anak mereka yang berusia mulai enam bulan menggunakan gawai.

Dampak Buruk Literasi Rendah
Penggunaan gawai yang tidak diawasi berpotensi mengganggu perkembangan literasi anak. Ketergantungan pada HP membuat mereka kehilangan minat untuk membaca buku, sehingga kemampuan berpikir kritis dan imajinasi tidak berkembang dengan optimal. Budaya membaca yang lemah ini menciptakan kesenjangan besar antara Indonesia dan negara-negara maju.

Langkah Strategis Mengatasi Masalah. Untuk mengatasi krisis ini, kita perlu melakukan langkah-langkah strategis yang melibatkan semua pihak:

1. Membangun Budaya Membaca di Rumah
Orang tua harus menjadi teladan dalam membaca. Sediakan waktu khusus untuk membaca bersama keluarga. Jika memungkinkan, ajak anak-anak ke toko buku atau perpustakaan secara rutin. Anggarkan pembelian buku sebagai investasi pendidikan keluarga.

2. Regulasi Penggunaan Gawai
Pemerintah perlu membuat aturan yang membatasi penggunaan HP bagi anak-anak di bawah usia tertentu. Selain itu, perlu ada edukasi massal tentang dampak negatif penggunaan gawai yang berlebihan, baik melalui media maupun sekolah.

3. Penyediaan Akses Buku
Pemerintah dan masyarakat perlu memperbanyak perpustakaan, taman bacaan, dan buku digital yang mudah diakses. Subsidi harga buku juga dapat meningkatkan minat baca, terutama di kalangan masyarakat kurang mampu.

4. Pemanfaatan Teknologi untuk Literasi
Teknologi harus digunakan secara positif. Aplikasi membaca digital yang menarik bisa menjadi alternatif untuk mengembangkan minat baca pada generasi muda.

Sebagai bangsa yang diwarisi wahyu pertama, Iqra', membaca seharusnya menjadi ibadah sekaligus kewajiban. Mari bersama-sama menghidupkan kembali budaya membaca, bukan hanya untuk mengejar ketertinggalan, tetapi juga untuk membangun generasi yang lebih cerdas, kreatif, dan beradab.

Kompleks GPM, 19 Desember 2024