Mengapa kita berpuasa, sholat, berhaji dan berzakat? Agar kita bertaqwa, agar kita semakin dekat kepadaNYA. Demikian diantara jawaban yang dapat ditemukan dalam al-Quran dan sunnah. Namun hakekat sesungguhnya hanyalah Allah yang mengetahuinya. Dalam konteks ibadah mahdhoh, sebagai hamba Allah kita melaksanakannya dengan ketundukan otentik dan kepasrahan total, dan menyerahkannya sepenuhnya kepadaNYA tanpa harus bertanya mengapa. Mengapa? karena ibadah yang dilaksanakan adalah bentuk penyerahan diri secara absolut dan bentuk cinta tanpa syarat kepadaNYA. Saat kita beribadah kita sedang merefleksikan versi ter genuine diri kita sebagai hamba.
Sebagai ibadah yang sangat pribadi dan personal, puasa adalah bisnis antara hamba dengan tuhannya ( kullu ‘amal ibn Adam lahu illa s siyam, fainnahu li wa ana ajzi bihi). Puasa adalah hidangan rohani, suguhan langit, nutrisi jiwa, purifikasi spiritual, yang akan menghapus kebencian, kepongahan, irihati dan segala penyakit hati. Ahirnya puasa akan mempertajam spiritualitas dan memperhalus sensitifitas diri seorang hamba yang di dalamnya terdapat dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Dalam hadis dikatakan bahwa puasa adalah perisai (al siyamu junnatun), yang secara alamiah akan memproteksi orang yang berpuasa dari hal hal yang melenceng. Dalam alquran puasa adalah medium yang akan mengantarkan kita untuk mencapai gelar taqwa (lallakum tattaqun). Saat berpuasa seorang hamba sedang melakukan purifikasi jiwa dan sekaligus pendakian spiritual untuk menemui sang khalik (farhatun inda liqai rabbih). Amaliah ramadan seperti tarawih, tadarrus al-Quran, qiyamullayl, berinfaq, bersadaqah adalah fitur fitur yang akan mengantarkan orang berpuasa untuk semakin dekat kepadaNYA.
Puasa yang dilaksanakan dengan sepenuh jiwa akan mentranformasi spritiualitas hamba yang akan mewujud dalam berbagai dimensi, baik dimensi spiritual transenden maupun dimensi sosial horizontal.
Dimensi spiritual.
Saat seluruh panca indra berpuasa, seorang hamba merasa sepenuhnya diawasi oleh Allah. Seluruh fikiran, hati, jiwa dan raganya secara sinergis membangun ekosistem prilaku yang selalu menjaganya berada dalam pengawasanNYA sehingga tidak akan melakukan hal hal yang akan membatalkan puasanya. Walhasil, puasa adalah tentang merasakan kehadiran Allah yang maha hadir (omni present) dalam setiap tarikan nafas kita, karena tak satu detikpun tuhan tidur, lalai dan absen dari pengawasan dan pemantauannya terhadap hambanya. Puasa adalah tentang kesadaran penuh akan kerendahan diri seorang hamba dihadapan yang maha mulia, adalah tentang kepasrahan total di hadapan yang maha agung, adalah wujud cinta dan penghambaan otentik kepada sang pencipta. Karenanya, puasa seyogyanya menjadi penuntun rohani agar kita selalu dijalanNYA dan perisai yang akan memproteksi kita dari ketakterkendalian diri, kesombongan, kepongahan dan keangkuhan.
Puasa akan mendekatkan diri kita kepadaNYA, kedekatan otentik yang diarasakan secara genuine, merasakan kedekatan tuhan akan membuat kita mencintainya dan menyayangi mahluknya. Karena kita sadar bahwa kita adalah satu kesatuan mahluk. Menyayangi orang lain hakekatnya adalah menyayangi penciptanya dan menyayangi diri sendiri. Begitupula sebaliknya. Jika kita merasa dekat kepada tuhan tapi mengabaikan, menjauhkan dan bahkan menyakiti orang lain, mungkin kedekatan itu hanyalah imaginer, palsu atau semu belaka.
Dimensi sosial
Siapapun dan apapun status sosial kita bukanlah sepenuhnya hasil perjuangan dan kapasitas kita. Selain ihtiyar kita ada ekosistem yang sedang bekerja yang melibatkan tuhan dan kontribusi orang lain. Tuhan yang maha pemurah dan pemaaf, walau mengetahui semua kelemahan dan bahkan aib kita, tetap membiarkan diri kita terhormat dengan menutup aib kita. Tak ada orang tanpa aib, jika Allah membukanya, saat itu juga kita hancur. Rendah hati dihadapan manusia dan rendah diri di hadapan Allah adalah konsekwensi dari kesadaran akan kelemahan dan kekurangan diri.
Kesuksesan kita hari ini adalah kontribusi banyak pihak termasuk doa doa tulus hamba Allah yang mungkin belum beruntung. Ada hak mereka atas kesuksesan kita. Puasa melatih diri kita untuk mendengar bisikan mereka yang tak bersuara, merasakan keperihan mereka yang tak terungkap. Tidak kurang dari 26, 36 juta saudara kita masih berada di bawah garis kemiskinan, 5,5 juta diantaranya mengalami kemiskinan ekstrim, di tengah pesatnya peningkatan jumlah kelas menengah Indonesia. Tidakkah Nurani kita terpanggil untuk mengangkat derajat mereka? Bukankah puasa mengajarkan kita untuk merasakan keperihan yang mereka rasakan sepanjang tahun? Semoga puasa kita akan mentranformasi rasa dan fikiran kita untuk lebih peduli terhadap saudara saudara kita.
Mengelola emosi jiwa
Sebagai manusia biasa kita sering menunjukkan versi diri yang tidak sempurna. Sampai ahir hayat manusia dituntut untuk terus berproses menemukan versi terbaik dirinya baik sebagai hamba maupun sebagai khalifatullah dan merefleksikannya dalam kehidupan. Puasa mengarahkan potensi diri seorang hamba menuju versi diri yang terbaik, diantaranya dengan Latihan mengendalikan diri dan mengelola emosi, bahkan pada saat dihujat sekalipun (fain saabbahu ahadun aw qatalahu falyaqul inni saimun). Diantara ciri ciri orang bertaqwa adalah menahan amarah (wal kazimina l ghayza wal afina ani n nas). Puasa akan melahirkan pribadi pemaaf dan sabar. Demikian di antara hikmah puasa, tetapi hakekat dan hikmah sesungguhnya jauh lebih luas dan sekali lagi hanya diketahui oleh Allah. Kita pasrahkan sepenuhnya kepadaNYA, semoga puasa tahun ini lebih berkualitas dari tahun sebelumnya, amin3. Allahu a’lam bi s shawab.