1. Indonesia sebagai ruang iman yang plural sejak awal
Nusantara mengenal pluralitas sejak zaman kerajaan—dari Hindu, Buddha, Islam, Kristen, hingga aliran kepercayaan.
Bukan perjumpaan yang bersifat pasif, tetapi dialektik: saling mempengaruhi, saling membentuk.
2. Di bidang iman kita memahami Double truth atau kebenaran ganda sambil saling mengargai perbedaan yang masih ditemukan.
Beberapa pandangan orang arif telah dikekakan pada seri sebelumnya,
penyatuan tak selalu menyatukan lembaga.
Ia bisa berupa semangat yang sama,
misi luhur dari hati yang rela.
Mengapa tak dimulai dari saling memahami?
Dari menghormati makna di balik arti?
Karena persatuan bukanlah penghapusan,
tapi penyambungan kasih dalam keikhlasan.
Di bidang sosial kemasyarakatan kita mengenal kebenaran tunggal dari sini kita bisa bekerja sama
Sebab semua agama memuliakan manusia dan kasih, bukan mengangkat kebencian sebagai hukum utama.
3. Merawat ruang bersama dengan cinta, bukan curiga
Kolaborasi sekalipun beda iman di Indonesia telah terbukti dalam sejarah: dalam perjuangan kemerdekaan, di masa bencana, di lembaga pendidikan dan sosial.
Yang membahayakan bukan perbedaan iman, tetapi ego sektarian dan politik yang menungganginya.
4. Dari perjumpaan ke persaudaraan
Perjumpaan harus dinaikkan derajatnya menjadi persaudaraan.
Dialog harus melampaui formalitas, menjadi ta’aruf, tafahum, bahkan ta’awun—dalam istilah Islam.
5. Menjaga Indonesia sebagai amanah bersama
Negara ini bukan milik satu agama, tapi tanah suci yang diwariskan Tuhan untuk dikelola bersama.
Maka, tugas umat beragama adalah menjadi suluh, bukan sekam.
Wasalam,
Kompleks GFM, 31 Juli 2025