Gambar REAKTUALISASI PENGERTIAN TAKDIR DAN TAWAKKAL


Hampir semua paham teologi dalam Islam mendasarkan pemikirannya pada Al-Qur’an dan hadis. Itulah kesimpulan yang saya peroleh ketika mempelajari teologi selama dua semester di bawah bimbingan almarhum Prof. Dr. Harun Nasution di Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1987. Beliau sering mengatakan, "Siapa pun yang menjadikan Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman dalam beragama, mereka adalah saudaramu seiman, sekalipun berbeda pandangan."

Perbedaan pandangan ini, menurut Syekh Yusuf Al-Qaradawi, Direktur Persatuan Ulama Dunia, adalah bagian dari sunnatullah dalam rangka fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Beliau menegaskan bahwa menyamakan segala pandangan manusia dalam segala hal adalah sesuatu yang mustahil. Bahkan dalam ranah akidah, seperti sifat-sifat Allah, ada pandangan yang menyebut sifat-sifat Allah berjumlah 20, 99, atau bahkan tanpa batas (unlimited).

Paradigma Takdir: Jabariyah dan Ikhtiar
Dalam sejarah Islam, paham Jabariyah dikenal sebagai teologi fatalisme. Mereka berpandangan bahwa nasib manusia sepenuhnya ditentukan oleh Allah SWT, sebagaimana digambarkan dengan analogi kapas yang diterbangkan angin. Pandangan ini merujuk pada ayat seperti QS Al-Hadid:2, “Dialah Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Namun, ada ayat-ayat lain yang menegaskan kebebasan manusia untuk berusaha, seperti QS Ar-Ra’d:11:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."

Ayat ini pernah dikutip oleh Presiden Sukarno dalam Sidang Umum PBB, sehingga salah seorang sahabat dari Aljazair menyebutnya sebagai “ayat Sukarno”.

Almarhum Prof. Dr. Hamka, dengan kebijaksanaannya, tidak mempertentangkan kedua ayat tersebut. Beliau bahkan mengajarkan keseimbangan: jika seseorang sombong dan merasa segala keberhasilannya murni karena usahanya sendiri, ingatkan QS Al-Hadid:2. Sebaliknya, jika ada yang bermalas-malasan dan menyerahkan segalanya pada takdir, ingatkan QS Ar-Ra’d:11.

Tawakal yang Sejati
Dalam konteks tawakal, Nabi Muhammad SAW memberikan panduan jelas, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Ketika seorang lelaki berkata bahwa ia bertawakal kepada Allah, namun untanya dibiarkan tanpa diikat, Nabi menegurnya: “Ikatlah untamu terlebih dahulu, kemudian bertawakal.” Artinya, tawakal harus didahului dengan ikhtiar maksimal. Jika kemudian takdir Allah berlaku, barulah manusia pasrah sepenuhnya.

Pelajaran dari Pandemi dan Kesadaran Fikih
Keputusan MUI DKI Jakarta, Gubernur Jakarta, serta imbauan Ketua Umum MUI Sulawesi Selatan dan DPP IMMIM selama pandemi COVID-19 untuk menghindari kerumunan—termasuk mengganti shalat Jumat dengan shalat Zuhur—merupakan bentuk ikhtiar yang sejalan dengan prinsip fikih: “Menghindari mudarat lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat.”

Pengalaman Lintas Mazhab dan Dialog Keagamaan
Saya pribadi telah dua kali mengikuti konferensi lintas mazhab di Teheran, Iran, serta menghadiri Jalsah Ahmadiyah di London dan Qadian, India. Hal ini saya lakukan karena memandang mereka sebagai saudara seiman, meskipun ada perbedaan. Bahkan dalam interaksi lintas agama, seperti penelitian saya di Hendrik Kraemer Institute di Leiden dan diskusi dengan pendeta asal Indonesia, saya menemukan bahwa agama tidak berubah, tetapi hubungan sosiallah yang berubah akibat interaksi.

Pengalaman ini mengingatkan saya pada Piagam Madinah, di mana Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat plural yang tetap menghormati keyakinan masing-masing. Dalam hal ini, hubungan manusia dengan Allah SWT tetap teguh, sementara hubungan sosial terus berubah seiring waktu.

Penutup
Reaktualisasi pemahaman tentang takdir dan tawakal adalah upaya menempatkan keseimbangan antara ikhtiar manusia dan kehendak Allah. Semoga kita senantiasa mendalami ajaran Islam dengan pemahaman yang bijak, toleran, dan berbasis pada Al-Qur’an serta hadis.

Wassalam,
Kompleks GPM, 20 Januari 2025