Gambar ”Ramadan dan Jeda Pesta Makan Besar” (15)

Dalam satu hal, Ramadan menawarkan masa jeda duniawi bagi kaum Muslim. Di sebelas bulan sebelumnya, hidup kita mungkin lebih banyak berkisar dan berputar pada urusan duniawi. 

Setiap hari kerja, dari pagi hingga sore, kita geluti profesi masing-masing demi keberlangsungan hidup kita sekeluarga. Karena sibuk bekerja, kerapkali kita abai pada tanggung jawab sosial di luar lingkungan kerja kita. Juga lalai dalam upaya meningkatkan kualitas spiritual kita.

Segelintir orang mungkin punya rutinitas harian yang hanya berkisar pada rumah dinas megah, ruang kantor yang nyaman, dan executive lounge di setiap bandara. Hidup mereka juga berkisar pada penerbangan kelas bisnis, atau jet pribadi, mobil dinas mewah yang ke mana-mana diiringi patwal, hotel berbintang lima, restoran berkelas, protokoler penyambutan dan kursi VVIP di setiap acara.
 
Di hari libur, mereka piknik ke tempat-tempat yang sesuai dengan jabatan atau kelas sosial mereka. Di mana-mana, mereka hanya bertemu dengan orang-orang seprofesi atau dari kelas sosial-ekonomi yang sama. Jarang sekali mereka bergaul dengan orang lain lintas profesi dan status sosial.

Jika hidup hanya berkisar pada ritme dan ritual seperti itu, sangat mungkin kemampuan kita untuk berempati, apalagi bersimpati, pada derita orang lain akan semakin tumpul. Penglihatan kita terhadap tragedi dan nestapa kemanusiaan yang mengenaskan semakin buram. 

Maka Ramadan datang menawarkan kepada kita waktu untuk rehat sejenak (coffee break) dari hiruk-pikuk lingkungan seperti itu. Yaitu, kondisi dan lingkungan yang kerap membuat kita lupa pada diri sendiri, lupa pada orang lain, dan akhirnya juga lupa pada Tuhan. 

Ramadan membukakan kita peluang dan ruang untuk berjumpa secara lebih intensif, ekstensif, dan intim dengan orang-orang di luar profesi dan lingkaran kelas sosial kita selama ini. 

Faktanya, hingga memasuki likur kedua Ramadan, nampak masih banyak orang yang enggan melakukan reses sejenak dari pergaulan dengan kawan-kawan seprofesi atau satu kelas sosial. 

Sebaliknya, memasuki Ramadan, mereka malah lebih intens mengadakan berbagai kegiatan kumpul-kumpul dengan rekan sesama profesi atau kelas sosial saja. Misalnya, berbuka puasa bersama (bukber) dengan teman sekantor, seprofesi, se-ormas, dsb. Juga salat tarawih bergilir (tarling) di rumah jabatan, di kantor, atau di hotel berbintang lima.

Entah bagaimana awalnya tradisi seperti ini muncul di Indonesia. Yang jelas, sejak belasan tahun silam, hampir semua instansi pemerintah dan swasta, termasuk kampus-kampus, mengadakan acara berbuka puasa bersama di unit masing-masing yang dihadiri para pimpinan dan pegawai instansi terkait. 

Konon, anggaran untuk kegiatan semacam itu memang sudah disiapkan di hampir tiap instansi pemerintahan. Pertanyaan yang menggoda, mengapa, misalnya, anggaran itu tidak digunakan saja untuk membantu warga miskin, lemah dan terabaikan agar mereka dapat menjalani Ramadan tanpa harus berkerja keras seperti biasa demi sesuap nasi?

Ya benar. Dalam acara bukber seperti itu, beberapa anak panti asuhan memang hampir selalu juga diundang. Biasanya, mereka datang dengan mobil carteran dan dengan seragam panti masing-masing. Namun, kerapkali mereka nampak sebagai sekedar pelengkap saja. Didudukkan di pojok ruangan atau ruangan terpisah. Seakan mereka diundang hanya untuk memberi justifikasi keagamaan bagi acara buka puasa tersebut. Jarang sekali mereka tampak berbaur atau dibaurkan dengan tetamu lainnya.

Setelah lebaran pun, biasanya orang-orang terus mengadakan acara kumpul-kumpul dengan kawan-kawan sesama profesi. Misalnya dengan mengadakan acara halal-bi-halal atau Syawalan dan sejenisnya. Atau melakukan piknik ke tempat-tempat wisata yang sama bersama dengan kawan-kawan sekantor.

Begitulah, profesi atau tempat kerja menjadi lapisan identitas baru yang semakin tebal dan kuat dalam masyarakat kita. Kesamaan profesi mulai menggeser faktor kesamaan identitas suku, agama atau ormas untuk melakukan tindakan bersama atau menjalin kebersamaan.

Dalam masyarakat modern dan plural, memang sudah jadi fakta bahwa profesi (bidang pekerjaan) menjadi identitas paling kuat daripada faktor etnisitas, kebangsaan, bahkan agama. Maka orang-orang dengan profesi yang sama lebih intens waktu dan kualitas pergaulannya, lebih kuat rasa solidaritas korps-nya, kebanggan kolektifnya, dan kesediaan mereka berkorban demi kolega seprofesi.

Saat berkunjung ke Amerika Serikat dalam rangka satu program akademik singkat di 2018, saya tanya seorang professor senior "bule" yang memandu kami selama pelaksanaan program. Dia dosen di Fakultas Ilmu Politik Universitas Massachusetts, Amherst. Saya tanya, kalau ada orang yang tanya Anda, ”Who are you”, apa jawaban Anda? ”I’am a political scientist”, jawab dia (Saya seorang ilmuan politik).

Dia tidak menjawab (sesuai dugaan) saya, misalnya, saya orang Massachusetts! atau orang Amerika! atau seorang Protestant! Dengan kata lain, di sana, afiliasi profesional  menjadi inti identitas personal seseorang daripada faktor-faktor yang di negara lain (seperti Indonesia) berwujud kesukuan, kebangsaan, agama, bahkan ormas keagamaan.

Nah, Ramadan sejatinya adalah kesempatan terbaik untuk mengenal, menyapa dan berbagi dengan kalangan orang-orang lintas-generasi, profesi, suku, agama dan kelas sosial berbeda. Untuk apa? Ya, dalam rangka menyemaikan dan memupuk sifat dan sikap ugahari, empati, solidaritas, toleransi dan rendah hati. Bukan sebaliknya, Ramadan malah jadi ajang penegasan, demonstrasi dan eksebisi identitas, status sosial dan properti duniawi seperti terjadi di sebelas bulan lainnya.

Dengan kata lain, bulan Ramadan dapat menjadi alasan atau kesempatan untuk cuti atau jeda dari pesta makan-makan besar dan mewah dalam beragam bentuknya, yang di luar Ramadan sudah lumrah dan rutin dilakukan. Bulan Ramadan dapat menjadi bulan baksos, bulan reses, atau bulan KKN bagi mereka yang sepanjang 11 bulan hanya berpusar dan berputar di kantor/kampus/perusahaan.  

Beberapa hari lalu, saya menghadiri undangan diskusi (FGD) di satu hotel berbintang dan pertemuan khusus (dengan former academic supervisor dari Australia) di satu restoran berkelas di kawasan down town Makassar. Tentu saja, saya harus berbuka di kedua tempat itu. Nampaknya, ruang makan di kedua tempat itu sangat ramai dan meriah dengan orang-orang yang datang khusus untuk berbuka puasa bersama keluarga dan kolega.

Seorang kawan pernah memberitahu saya. Hampir semua hotel dan restoran ternama di Makassar  menawarkan paket buka puasa secara prasmanan dengan banyak pilihan menu. 

Saya tertegun, rupanya selain fenomena buka puasa bersama di rumah-rumah dinas para pejabat atau pengusaha besar, kini ada tren baru di bulan Ramadan:  berbuka di hotel dan restoran mewah. [Dan saya pun mulai tertarik mencoba tren itu dengan keluarga, di sisa hari Ramadan ini. hehehe].

Tapi, jika begitu, kapan jedanya acara makanG-makanG bersama dan sesama kita tongji? []