Siapa di antara kita yang tak suka dan tak pernah tersenyum saat dipuji?
Mengapa hati terasa ringan ketika nama kita disebut dengan kata-kata indah?
Apakah kita melakukan kebaikan karena tulus… atau karena berharap ada yang berdecak kagum?
Mengapa ada orang yang marah saat tak disebut, kecewa bila tak dihargai, bahkan tersingkirkan hanya karena tak cukup dielu-elukan?
Apakah pujian memang candu yang tak kasat mata, namun mampu mengubah sikap, pilihan, bahkan kemurnian hati?
Sudahkah kita memuji dengan tulus untuk menghargai, atau hanya melambungkan orang agar kita dipandang dekat?
Dan… apakah kita kuat menghadapi pujian tanpa kehilangan kendali atas diri sendiri?
Pujian: Antara Fitrah dan Godaan
Pujian adalah bagian dari bahasa rasa yang membalut interaksi manusia. Setiap jiwa pada dasarnya merindukan apresiasi.
Ingin dihargai, ingin dikenang, dan ingin dipandang berarti adalah kebutuhan emosional yang bersifat fitri.
Maka tak salah bila Rasulullah SAW. pun mengajarkan kita untuk saling menghargai dan memberi penghormatan.
Namun pujian adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi penyubur motivasi, atau sebaliknya, penjerumus dalam lautan ego.
Pujian yang tepat, pada tempat dan kadar yang benar, menjadi jembatan untuk mempererat ukhuwah dan menciptakan harmoni.
Tapi pujian yang berlebihan, manipulatif, atau datang dari niat yang salah justru dapat merusak hati dan meracuni jiwa.
Rasulullah SAW.bersabda:
“/إذا رأيتم المداحين فاحثوا في وجوههم التراب»
"Apabila kalian melihat orang-orang yang gemar memuji (berlebihan), taburkanlah tanah ke wajah mereka."
(HR. Muslim)
Ini bukan ajakan untuk merendahkan, tetapi peringatan agar kita waspada terhadap pujian yang menjebak, yang tidak lagi menjadi ekspresi ketulusan, melainkan alat pengendali atau penjilat.
Pujian sebagai Fitrah yang Dimuliakan
Allah SAW. sendiri menyebut bahwa pujian adalah bentuk penghargaan kepada orang-orang beriman:
وَبَشِّرِ ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bahwa bagi mereka pahala yang besar.”
(QS. Al-Isra: 9)
Pujian, ketika lahir dari keadilan dan cinta terhadap kebaikan, menjadi bentuk penghormatan terhadap akhlak dan amal. Bahkan Rasulullah SAW.sendiri sering memuji para sahabatnya, seperti:
“نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ"
"Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah, jika saja ia shalat malam."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menunjukkan bahwa pujian bisa menjadi dorongan spiritual, asalkan tidak memabukkan dan melahirkan penyakit hati.
Bahaya Pujian: Saat Fitrah Berubah Menjadi Fitnah
Namun pujian adalah candu yang memabukkan jika tak dijaga. Betapa banyak orang berubah bukan karena tekanan, tapi karena sanjungan.
Mereka mulai berpura-pura, demi terus berada dalam panggung yang dipenuhi sorak-sorai. Bahkan rela menjual prinsip, hanya agar terus jadi pusat perhatian.
Katena itu, Pujian bisa melahirkan antara lain:
*Keangkuhan: merasa paling baik, paling benar, dan menolak nasihat.
*Kemunafikan sosial: hanya mendekati orang yang memuliakan, menjauh dari mereka yang jujur tapi tak menyanjung.
*Eksklusivitas: memilih-milih sahabat karena pujian, bukan ketulusan.
*Ketergantungan emosional: hidup dalam bayang-bayang validasi orang lain.
Ibnu Mas’ud رضي الله عنه berkata:
“الهلاك في اثنين: الكبر والإعجاب بالنفس"
"Kebinasaan itu terletak pada dua hal: kesombongan dan kekaguman terhadap diri sendiri."
(Syu’ab al-Iman )
Pujian dalam Keseimbangan: Panduan dari Ulama
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa pujian terhadap orang lain bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk mengapresiasi nikmat Allah SWT. atas hamba-Nya.
Tapi bisa juga menjadi racun jika diniatkan untuk menjilat atau menjatuhkan. Beliau berkata:
“المدح بالباطل هو السم القاتل، لأنه يبعث في القلب العجب ويدعو إلى الكبر ويمنع من قبول النصيحة"
"Pujian yang tidak benar adalah racun yang mematikan, karena ia membangkitkan ujub dalam hati, menyeret pada kesombongan, dan menghalangi dari menerima nasihat."
Kesadaran Jiwa: Memuji dengan Hikmah, Menerima dengan Rendah Hati
Bagi yang memuji, jadilah pribadi yang adil dan tulus. Gunakan kata-kata indah bukan untuk memanipulasi, tetapi untuk menyemai semangat dan cinta kasih.
Bagi yang menerima pujian, jadikan ia cermin yang mengingatkan: bahwa semua kebaikan adalah titipan, bukan milik.
Jangan terlena oleh decak kagum, sebab yang dipuji hari ini, bisa dihina esok hari. Rasulullah SAW. bersabda:
“إذا أثنيتم على أحد فقولوا: نحسبه كذا ولا نزكي على الله أحدًا"
"Jika kalian memuji seseorang, katakanlah: 'Kami menganggapnya demikian, namun kami tidak menyanjung seseorang di hadapan Allah.'"
Sehingga dengan demikian, maka Pujian itu ibarat embun, menyegarkan, tetapi bisa membasahi sayap jika terlalu sering hinggap.
Ia adalah cahaya yang bisa menerangi jalan, namun juga bisa membutakan mata yang tak siap.
Jangan cari pujian, biarkan ia datang sendiri, karena ketulusan tak pernah berteriak namun selalu dikenal.
Jangan pula menolak setiap pujian, karena kadang ia adalah bahasa cinta yang meneguhkan semangat yang hampir padam.
Tapi waspadalah, jangan biarkan dirimu menjadi budak tepuk tangan. Karena kemurnian hati hanya untuk Dia yang Maha Mengetahui isi dada…
وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
"Dan Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam dada."
(QS. Al-Maidah: 7).
#Wallahu A’lam Bis-Sawab