Di antara fungsi puasa adalah melatih manusia mengendalikan hawa nafsu, karena nafsu yang tidak terkendali dan tercerahkan, dapat menjerumuskan manusia ke dalam lembah kehinaan. (QS. Al-Tin: 5) Imam al-Busyiri dalam syairnya al-Burdah berkata: ”Nafsu itu seperti anak kecil yang manja. Jika engkau membiarkannya, maka ia akan terus bertambah manja. Sudah berapa banyak orang yang tewas, hanya karena tidak tahu bahwa di dalam lemak itu ada racun yang mematikan” Inilah perumpaan nafsu manusia yang selalu ingin dipuaskan dengan berbagai pemenuham materi.

Bila manusia dikuasai hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan, maka pada hakikatnya ia sama seperti binatang, bahkan lebih jelek dari binatang (Q.S. al-A’raf: 179). Binatang seperti harimau sekalipun, jika sudah kenyang, tidak akan mengenyangkan perutnya lagi, meski makanan atau seekor tikus berkeliaran di depan hidungnya. Sebaliknya manusia, terkadang meski sudah “kenyang”, ia tidak pernah puas bahkan selalu haus terhadap kekayaan, jabatan dan kedudukan. Untuk itu ia rebut semuanya  meski harus menghalakan segala cara.  

Puas atau tidak puas merupakan kondisi jiwa yang melekat pada kehidupan manusia. Begitu banyak manusia yang tidak puas terhadap apa yang diberikan Tuhan kepadanya sehingga menyebabkaan dirinya kurang bersyukur. Demikian pula begitu banyak manusia yang ingin berpuas-puas dengan glamoritas duniawi, sehingga dia melupakan kehidupan ukhrawi. Ukuran kebahagiaan adalah pragmatisme; kini dan kekinian, atau di sini dan kedisinian.  Nabi saw jauh-jauh hari mengingatkan dengan sabdanya: Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala apa-apa kecuali lapar dan dahaga.   

Pernyataan Nabi ini tentu menjadi early warning bagi umat Islam untuk memperbaiki kualitas ibadah puasa, yang tidak saja menahan makan, minum dan hubungan suami istri di bulan Ramadan, tetapi lebih dari itu adalah kemampuan mengonsolidasikan diri untuk menjaga jiwa agar tidak terjebak dengan godaan nafsu syaitaniyah yang cenderung mengajak manusia untuk mencintai materi di atas cinta kepada Tuhan. Karena itu, tidaklah mengherankan jika hubungan manusa dengan materi,  selalu mendapat sorotan tajam dari Al-Quran.

Nafsu dengan berbagai kepuasan lahiriah mendorong satu manusia menyembah manusia lainnya, mendorong manusia menjadikan benda, lembaga atau institusi sebagai “tuhan-tuhan baru” yang menjadi sandaran hidupnya dan taruhan terakhir bagi masa depannya, sehingga  tidak heran bila hari-hari ini banyak orang yang rela mati demi materi yang dicintainya, atau tokoh yang figurkannya atau demi politik yang dianutnya, dan rela berperang menumpahkan darah demi etnik dan sukunya.


Karena itu, puasa pada hakikatnya mengajak manusia membebaskan diri dari tirani hawa nafsu yang selama ini boleh jadi menjadi “agama baru” di dalam kehidupannya, bukan mendorong manusia berperilaku konsumtif sebagaimana sering terjadi dalam fenomena kehidupan manusia. Puasa mendidik manusia tentang kesadaran ilahiyah, yaitu sebuah kesadaran  akan adanya Tuhan yang maha hadir (omnipresent awareness) yang tidak pernah lengah mengawasi tingkah laku manusia. Kesadaran ini sejatinya menumbuhkan sifat kejujuran, kesabaran, kedisiplinan dan kepekaan sosial. 

1 Ramadhan 1445 H
 Selamat Berpuasa!