Di kampus peradaban, Gadjah Mada bergemuruh oleh nurani, Ratusan dosen menolak gelar kehormatan yang jatuh bukan karena ilmu, melainkan karena kuasa dan politisasi.
Profesor, katanya, bukan sekadar gelar, tapi jabatan luhur yang hidup— selama ilmu diajarkan, selama pikiran diasah, selama tugas dijalankan.
Namun kini, di antara plakat dan piagam pesta, gelar itu jatuh jadi semacam medali, ditempelkan pada jas tamu negara, disebut dalam kampanye, dibawa hingga ke nisan seakan gelar itu lebih kekal dari iman.
Seorang ilmuwan tua di UNHAS, kampus merah, diam-diam menanggalkan gelar, karena uzur telah menghalangi tugasnya, "Tak pantas lagi aku menyandangnya," katanya dengan mata jernih dan suara merunduk, tanpa seremoni, tanpa sanjungan. Aku tak sebut namanya— karena ketulusannya telah cukup menjadi nyala.
Lalu kita bertanya: Untuk siapa gelar kehormatan itu? Untuk ilmu atau gengsi? Untuk dedikasi atau diplomasi?
Kampus harusnya benteng integritas, bukan panggung bagi politik rendah atau pasar bagi simbol palsu yang hanya membuat akal kita mati sebelum waktunya.
Jangan jadikan profesor sebagai medali kosong, yang lebih gemerlap dari dalam ketimbang luar. Karena saat gelar diagungkan tanpa isi, maka ilmu akan dipinggirkan, dan bangsa kehilangan arah dalam kabut kebanggaan semu.
Wasalam, Kompleks GFM, 1 Juni 2025