Gambar PRASYARAT MENUJU PERSATUAN UMAT (1)


Sebelum bicara tentang syarat bersatu,

izinkan kujawab dahulu tanya netizen yang datang memburu:

"Mengapa kisah kolonial Belanda disisipkan?"


Kujawab dengan lirih dan jernih:

Agar umat sadar, bahwa dulu bangsa ini bersatu

melawan penjajah yang nyata di depan mata.

Lantas mengapa kini kita tak mampu bersatu

padahal lawan sesungguhnya ada di dalam dada?


Kala dunia Islam retak berkeping,

dan perpecahan jadi pemandangan harian,

mereka yang tidak terusik oleh luka itu

tak kusangka lagi harus kuucapkan apa pada mereka—

barangkali nurani mereka telah mati sebelum fajar.


Persatuan umat seharusnya bukan impian semata,

tapi gerakan sadar yang nyata.

Dari forum kecil di IMMIM tempat kumula,

hingga diskusi besar antara Sunni dan Syiah

yang digagas Ijabi dan sahabat-sahabat dari generai muda NU, Gus Mis. Sekarang jadi dubes Indonesia untuk Tunisia.

Di sinilah titik temu diupayakan tanpa letih,

dan itulah cermin ikhtiar yang pantas diperbanyak,

ditularkan, dan dirawat bersama.


Di tingkat dunia pun cahaya harapan sempat menyala:

Deklarasi Amman, Deklarasi Makkah, dan Deklarasi Bogor,

adalah isyarat bahwa umat ingin kembali ke titik poros,

di mana cinta dan adab jadi dasar persaudaraan.


Karena kutahu,

jika umat bersatu—tak ada benteng mustahil diterobos.

Tapi kenyataan berkata lain:

Umat ini terlalu lama tertinggal,

dan doa-doa kita yang indah

masih tersekat oleh tembok sikap yang sempit.


Kita berdoa,

"Ya Allah, anugerahkan kami kebaikan dunia dan akhirat..."

Tapi di dunia, kita saling caci,

dan di akhirat, kita saling tuding tempat kembali.


Aku pun sadar:

Menyatukan umat lebih sulit dari melawan penjajah.

Soekarno telah menubuatkan hal ini:

“Melawan Belanda lebih mudah,

karena musuhnya jelas.

Tapi setelah merdeka,

kalian akan berhadapan dengan bangsamu sendiri.”


Dan kini, aku berkata:

Mempersatukan umat adalah perjuangan sunyi—

karena justru ada yang takut bila kita bersatu,

meski berasal dari barisan yang sama denganku.


Satu pesan yang kerap kulontarkan:

Fanatisme adalah penghalang utama.

Fanatik pada mazhab, kelompok, tokoh,

dan yang paling licik:

fanatik pada pendapat sendiri.


Orang fanatik,

kata ulama Ikwanul muslimin,

bagai tinggal di rumah kaca yang tertutup rapat,

ke mana pun ia melangkah,

yang tampak hanya dirinya semata.


Ia tuli pada suara lain,

buta pada dalil yang tak sejalan.

Ia merasa suci, merasa paling benar,

padahal Allah-lah yang tahu

siapa yang paling bertakwa di antara hamba-Nya.


Ulama ini ini tak pernah melarang bermazhab,

yang ia tentang adalah fanatisme yang membutakan.

Mazhab itu seperti organisasi,

lahir dari sunatullah kehidupan.

Biarlah madrasah baru tumbuh,

asalkan tak saling menafikan yang lain.


Para Imam telah memberi teladan:

Imam Syafii berkata,

"Demi Allah, aku tak peduli dari lidah siapa kebenaran datang,

dari mulutku atau dari orang lain,

selama ia benar—aku terima."


Inilah persatuan yang kita idamkan:

Bukan melebur menjadi satu suara,

tetapi berdiri sejajar, saling menghormati,

dalam semangat "Unity in Diversity."


Akan datang seri berikutnya,

yang bicara tentang sikap moderat,

menghindari ekstrimisme yang memecah umat.


Semoga jalan ini tetap terang,

meski banyak duri dan jurang.


Makassar, 9 Juli 2025

Dalam semangat ukhuwah dan harapan yang tak padam.