Di bumi gaduh, suara bertumpuk,
lahir satu nama yang riuh dipeluk:
ANNAS—Aliansi Anti Syiah—
datang seakan hendak menyaring aqidah
dengan saringan milik mereka sendiri.
Namun di mana Kang Jalal berdiri,
di situlah bayang ANNAS ikut menyertai.
Di Kendari, kala ia hadiri memberi kuliah,
yang pertama duduk di Aula : Ustaz Said namanya—
ketua ANNAS Sulsel, yang siaga di tiap langkahnya.
Aku hanya tersenyum, mengenang tawaran lama,
saat mereka ingin aku memimpin ANNAS di Makassar tercinta.
Tegasku saat itu:
"Bukan waktunya Islam dipersempit oleh sekte,
inilah saatnya merengkuh rahmat semesta,
menyatukan, bukan memisah arah."
Namun dunia acap berputar logika:
sahabat jadi lawan,
lawan jadi saudara.
Lihatlah Arab Saudi:
yang dahulu biarkan pangkalan asing bertakhta,
kini merangkul Iran—bekas seteru lama,
demi satu musuh bersama:
penjajah bumi para anbiya.
Dan bukankah Iranlah yang berdiri
lantang di hadapan tirani Israel setiap hari?
Mungkinkah ini pertanda awal kebangkitan,
saat umat menemukan ruhnya dari reruntuhan?
Karena yang menghalangi kemenangan sejati,
seringkali cinta dunia… dan takut mati—
sabda Nabi yang abadi.
Di Kendari pula,
kuperkenalkan Kang Jalal di mimbar Jumat nan mulia,
di Masjid Raya yang menyimpan rahasia sunyi.
Berulang kali menemaniku di tanah rantau,
ia bagiku—mahasiswa matang
dalam akal, niat, dan kasih sayang.
Syiah atau bukan,
itu bagi kami hanya furu’, bukan fondasi iman.
Yang utama: niat menyatukan umat,
bukan mengobarkan api permusuhan yang sesat.
Perbedaan adalah sunatullah, kata ulama besar
dan fastabiqul khairat jawabannya.
Jangan percaya mereka yang berkata:
“Kita harus seragam tanpa beda.”
Padahal Qur’an sendiri menyapa
dengan ayat-ayat mutasyabihat dan mu’awwalat—
tanda bahwa jalan menuju-Nya berlapis hikmat,
tapi tetap menuju arah yang satu dan tepat.
Yang terlarang itu dendam dan saling singkir,
bukan keragaman tafsir.
Yang sesat itu kebencian,
bukan cinta dalam perbedaan.
Wassalam,
Kompleks GFM, 4 Juli 2025