Setelah ayahnya wafat Maulana menjadi penggantinya. Ia pun ulama besar yang sangat dihormati dan penduduk kota Konya. Sampai suatu hari ia bertemu dengan orang aneh bernama Syams Tabriz, yang mengubah segalanya, dari seorang guru besar menjadi murid kecil.

Pertemuan dua orang yang kemudian tak terpisahkan ini bermula ketika Maulana melewati sebuah jalan menuju suatu pertemuan. Tiba-tiba seseorang tak dikenal mencegatnya dan bertanya, “Wahai ulama besar Islam, katakan padaku siapa yang lebih hebat, Nabi Muhammad atau Bayazid Albustami?"

Syamsi Tabriz menghentak kesadaran Jalaluddin Rumi dengan pertanyaan yang sangat menyengat di pertemuan pertama mereka. 

“Siapakah yang lebih mulia maqam spiritualnya, Nabi Muhammad atau Bayazid Busthami”? Tanya Syamsi Tabriz kepada Jalaluddin Rumi yang saat itu tengah mengajar. 

"Pertanyaan macam apa ini? Tentu saja Nabi Muhammad," jawab Maulana heran.

“Jika begitu, kenapa Bayazid Busthami mengucapkan Maha Suci diriku, Maha Agung diriku (Subhani ma a'dzama sya’ni) sedangkan Rasulullah saw tidak?” 

Jalaluddin Rumi terdiam. Ia tersentak dengan pertanyaan orang asing tak dikenal itu. Rumi menyadari, orang asing dengan penampilan gembel darwis pengelana ini tentu bukan orang sembarangan. 

Kemudian sejak itu Jalaluddin Rumi mengikuti Syams, dan Rumi pun berubah menjadi seperti yang kita kenal saat ini, sebagai penyair mistik Islam terbesar.

Belakangan setelah berguru ke Syams, baru kemudian Rumi mengetahui jawabannya, sebagaimana yang terlihat dari bait-bait syairnya yang ditulis oleh muridnya saat beliau dalam keadaan ekstase.
Ucapan Bayazid itu terlontar saat beliau dalam keadaan mabuk spiritual (syatahat/ekstase), sedang Nabi Muhammad Saw tidak mungkin bisa mabuk. 

"Dahaganya Bayazid terobati oleh satu tetes air, dan kendinya penuh oleh satu tetes itu; dan cahaya yang ia terima adalah sesuai dengan kapasitas jendela cahaya Tuhan yang dimilikinya, sedangkan dahaganya Nabi Muhammad begitu besarnya sehingga di setiap tahap ia selalu menginginkan cinta dan pengetahuan Tuhan lebih dan lebih lagi, sebagaimana kata Qur'an "Bukankah kami telah melapangkan dadamu?" (QS 94:1) dan "Tidakkah bumi Allah itu cukup luas untuk hijrah?" (QS 4:97)

Sungguh! Membandingkan Muhammad dan Bayazid di sini sama sekali tidaklah setara dan tidak mungkin bisa dibandingkan. Ia bagaikan membandingkan antara samudera dan cangkir. 
Muhammad itu samudera, sedang Bayazid itu hanyalah sebuah cangkir yang dengan cepat meluap ketika diisi air seliter. 

Sedangkan samudera?
اللهم صل على الحبيب المصطفى