Di zaman ini, kita menyaksikan
pertarungan senyap—namun dahsyat:
antara kejujuran yang redup,
dan keculasan yang kian gemerlap.
Ia dimainkan oleh para tokoh,
yang dulu disebut pemimpin bangsa,
tapi kini, banyak berubah wajah—
dari pejuang jadi penjaja harapan.
Belajarlah pada pendahulu agung:
Soekarno, Hatta, Natsir, Syahrir, Agus Salim—
mereka rela papa demi tanah air tak tergadai.
Kini justru tanah tumpah darah
menjadi ladang perburuan kekuasaan,
dan rakyat dibiarkan memikul beban
utang, derita, dan kehancuran.
Dunia kini seperti terbalik:
dulu, tanah dijual tanpa sengketa,
meski tanpa surat, tak ada cela.
Kini, tanah dijual berkali-kali,
dan sengketa datang silih berganti,
karena nafsu telah menggantikan nurani.
Tokoh-tokoh culas
melahirkan masyarakat culas.
Dan pemimpin yang jujur
akan menempa bangsa yang lurus.
Zaman membentuk manusia,
tapi manusia pula yang menodai zamannya.
Lihatlah, tokoh culas dibela mati-matian
oleh pasukan baser yang hidup dari upah menjilat.
Semakin tajam lidah penjilatan,
semakin tinggi jabatan yang diberikan.
Sementara para pejuang kejujuran dan kebenaran
ditinggal sunyi dalam kesabaran panjang,
karena melawan keculasan
ibarat menabrak tembok beton
yang kokoh karena uang dan tipu daya.
Namun, sejarah tak pernah tidur.
Waktu akan menyaring yang palsu,
dan menyingkap tabir kebenaran
meski harus menunggu musim perubahan.
Wasalam,
Kompleks GFM, 23 Juli 2025