Salah satu kendala besar dalam menyatukan umat Islam adalah karena mereka hidup dalam masyarakat yang pernah dipengaruhi oleh paham anti-agama, terutama di masa Nasakom—singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Presiden pertama RI, Soekarno, mencetuskan gagasan agar ketiganya bisa disatukan dalam satu nafas kebangsaan. Namun, kenyataannya, pengaruh komunisme makin besar ketika Soekarno menjadikan Nasakom sebagai landasan politiknya.
Paham komunis sendiri telah menjadi kekuatan besar sejak berhasil menempati posisi keempat dalam Pemilu pertama tahun 1955. Di Indonesia, komunisme menjadi paham paling berpengaruh ketiga setelah Rusia dan Tiongkok.
Di Sulawesi Selatan, khususnya di Bantaeng, pengaruh komunisme sempat merasuk ke tengah-tengah umat, bahkan struktur kepengurusannya diisi oleh para sayyid (keturunan Nabi Muhammad saw.). Ada dua alasan utama mengapa umat Islam saat itu dapat terpengaruh oleh mereka:
1. Sumber daya manusia umat masih rendah, sehingga mudah dibodohi. Misalnya, ada yang menyebut PKI sebagai singkatan dari Partai Kiyai Indonesia.
2. Saat itu umat sedang menghadapi musuh bersama (common enemy), yaitu sistem kapitalis dan kolonialisme.
Salah satu contoh nyata adalah kepengurusan Komite Komunis Wilayah Sulawesi dan Maluku, yang diketuai oleh Anwar Kadir dan Aminuddin Muchlis, dengan pusat aktivitas di Jalan Sungai Limboto. Adapun Komunis Bantaeng didirikan pada 15 Februari 1954, dengan jajaran pengurus para sayyid, yakni Sayyid Sakaratuan, Sayyid Djalaluddin, dan Sayyid Muhammad MA.
Melihat meluasnya pengaruh komunisme di kalangan warga negara saat itu, para tokoh Islam baik di pusat maupun di daerah mulai aktif bersuara. Di pusat ada nama-nama seperti Buya Hamka dan E.Z. Muttaqin, sementara di daerah Sulawesi Selatan muncul tokoh seperti H. Fadli Luran. Mereka sempat dipenjara, dan baru setelah kegagalan pemberontakan G30S mereka dibebaskan. Sejak itu, mereka tampil lebih militan dalam menyuarakan pentingnya persatuan umat Islam.
H. Fadli Luran, dalam setiap sambutannya, selalu menegaskan bahwa umat Islam sejatinya tidak sulit untuk bersatu, karena Tuhan kita satu, kiblat kita satu, dan Nabi kita pun satu. Perselisihan umat pasca-komunisme bukan lagi karena ideologi luar, tetapi lebih kepada perbedaan dalam masalah furu’iyah dan ikhtilaf dalam pemahaman agama—yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan berikutnya.
Wassalam, Kompleks GFM, 10 April 2025