Pernahkah kita berhenti sejenak di tengah gegap gempita kekuasaan dan bertanya , Apakah kekuasaan yang kita genggam masih bernafas sebagai amanah, ataukah telah menjelma menjadi singgasana kesombongan?
Apakah suara rakyat di jalanan kita dengar sebagai ancaman, ataukah kita maknai sebagai doa yang mengetuk pintu langit?
Apakah air mata mereka adalah noda yang harus disapu dengan pentungan, ataukah ia adalah cermin jernih yang memperlihatkan luka bangsa yang mesti kita obati?
Apakah kursi jabatan yang kita duduki adalah titipan Allah untuk melayani, ataukah kita telah memperlakukannya sebagai mahkota warisan yang tak tersentuh kritik?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan undangan untuk berbenah.
Sebab, jika nurani kita masih hidup, maka setiap jeritan rakyat bukanlah suara sumbang, melainkan pesan cinta agar negeri ini kembali pada rel keadilan.
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an:
وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهٖ فَاُولٰۤىٕكَ مَا عَلَيْهِمْ مِّنْ سَبِيْلٍۗ
“Barangsiapa membela diri setelah dizalimi, maka ia tidak mendapat cela sedikit pun.” (QS. Asy-Syura: 41)
Dan Rasulullah SAW. bersabda:
“Barangsiapa membenarkan kedustaan penguasa dan menyokong kezaliman mereka, maka ia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya. Ia pun tak akan menemuiku di telaga.” (HR. Tirmidzi).
Ayat dan sabda ini adalah peta moral yang abadi: ketika penguasa kehilangan amanah, rakyat berhak melawan, bukan karena mereka membenci negara, melainkan karena mereka mencintai keadilan.
Gelombang di Jalanan
Sejak akhir Agustus 2025, Jakarta berguncang. Jalan-jalan dipenuhi wajah-wajah yang lelah sekaligus berani.
Dari pengemudi ojek daring hingga mahasiswa, dari pedagang kaki lima hingga pelajar berseragam, semua berkumpul membawa poster, suara, dan luka.
Bahasa mereka hanya satu: “Kami sudah muak ditindas.” Mereka menolak komersialisasi pendidikan, menolak politik dinasti, menolak kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Mereka menuntut RUU Perampasan Aset segera disahkan, bukan semata teks hukum, melainkan simbol keberpihakan negara kepada rakyat miskin yang puluhan tahun dirampok oligarki.
Namun jawaban negara sering kali bukan pelukan, melainkan pentungan. Bukan dialog, melainkan gas air mata.
Rakyat yang turun dengan tangan kosong diperlakukan seolah musuh negara. Pertanyaan yang terus berulang di udara, apakah ini wajah negeri yang katanya merdeka?
Pelajaran Sejarah
Sejarah selalu memberi pelajaran: rakyat tidak pernah lahir untuk melawan.
Rakyat melawan karena dipaksa oleh kezaliman. Dan kezaliman itu muncul dalam rupa-rupa wajah: aparat yang menindas, bukan mengayomi, DPR yang meninggikan suara arogan, seakan rakyat tidak tahu apa-apa, pejabat yang melontarkan kata-kata kasar, menyebut rakyat bodoh hanya karena berani bersuara, pemimpin yang lupa bahwa jabatan bukan mahkota warisan, melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Kezaliman semacam ini ibarat bara kecil yang ditiup angin, makin ditekan, ia makin berkobar. Al-Qur’an sudah memberi cermin tentang wajah klasik tirani. Fir’aun pernah berkata:
مَا أُرِيكُمْ إِلَّا مَا أَرَىٰ وَمَا أَهْدِيكُمْ إِلَّا سَبِيلَ الرَّشَادِ
“Aku tidak menunjukkan kepadamu kecuali apa yang aku pandang benar, dan aku tidak memberi petunjuk kepadamu kecuali jalan yang lurus.” (QS. Ghafir: 29)
Beginilah sifat penguasa yang buta nurani: mengklaim diri paling benar, menutup ruang kritik, dan menganggap rakyat tidak tahu apa-apa.
Bukankah gema ayat ini masih terasa dalam ucapan sebagian elit hari ini?
Namun kisah Fir’aun selalu berakhir tragis, ia ditenggelamkan oleh lautan yang ia kira pagar kekuasaan.
Sejarah Islam pun mencatat tiran lain, Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, yang pedangnya mudah terhunus untuk membungkam rakyat kritis. Ribuan orang ia bunuh demi menjaga legitimasi kekuasaan.
Namun yang tersisa dari Hajjaj bukan doa kebaikan, melainkan kutukan sejarah.
Nama besarnya bukan dikenang sebagai penjaga negara, tetapi simbol tirani yang gagal memahami amanah Allah.
Hasan al-Bashri pernah mengingatkan, “Hajjaj adalah azab Allah atas kalian. Jangan kalian lawan azab Allah dengan tangan, tetapi lawanlah ia dengan doa, sabar, dan taubat.”
Kisah Musa dan Fir’aun pun menjadi cermin abadi. Bani Israil dipaksa tunduk, anak-anak lelakinya dibantai.
Mereka tak punya senjata, hanya doa. Namun doa rakyat mustadh‘afin itu mengguncang istana. Allah SWT. berfirman:
وَنُرِيْدُ اَنْ نَّمُنَّ عَلَى الَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا فِى الْاَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ اَئِمَّةً وَّنَجْعَلَهُمُ الْوٰرِثِيْنَ
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang ditindas di bumi, menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka pewaris bumi.” (QS. Al-Qashash: 5)
Ayat ini adalah janji yang tak pernah gagal: rakyat tertindas bukanlah pecundang sejarah, melainkan calon pemimpin masa depan.
Fir’aun dengan segala bala tentaranya sirna, sementara Musa dan rakyatnya mewarisi bumi. Fir’aun dan Hajjaj adalah simbol sejarah, tetapi roh tirani selalu menemukan tubuh baru di tiap zaman.
Dan hari ini, ia menjelma dalam bahasa arogan pejabat, dalam kebijakan yang menindas, dalam pentungan aparat yang diarahkan pada dada rakyat sendiri.
Negara dalam Kontradiksi
Fenomena perlawanan rakyat bukan sekadar letupan emosional, melainkan gejala mendalam dari negara yang salah arah.
Konstitusi dipermainkan sesuai selera elite. Hukum menjadi panggung sandiwara yang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pajak dinaikkan tanpa hati nurani, bersamaan dengan kenaikan gaji pejabat.
Aparat diberi penghargaan tinggi, sementara rakyat kecil yang bersuara dijebloskan ke penjara.
Inilah kontradiksi internal negara yang disebut para filsuf: ketika hukum kehilangan moral, rakyat akan mengambil peran sebagai hakim sejarah.
Rocky Gerung menyebutnya radical break, patahan radikal yang lahir ketika norma publik dipermalukan, dan rakyat tidak lagi melihat negara sebagai pelindung, melainkan predator.
Para Folosof pun sudah mengingatkan sejak ribuan tahun lalu , bahwa negara tanpa keadilan akan hancur oleh kontradiksinya sendiri. Dan hari ini, kontradiksi itu nyata di depan mata.
*Seruan harapan kepada Presiden
Presiden Prabowo Subianto*
Presiden Prabowo sebagai sosok yang memiliki rasa empati tinggi, selalu berpihak kepada rakyat kecil, selalu mendengar rintihan wong cilik, kita berharap bahwa Bapak Presiden dapat mendengar dengan sebaik-baiknya .
Rakyat yang turun ke jalan bukan musuh negara . Mereka adalah cermin yang sedang memperlihatkan luka bangsa ini. Mereka marah bukan karena benci pada negeri, melainkan karena terlalu cinta pada negeri.
Mohon kepada Bapak Presiden agar tidak hanya berdiri di balik pagar istana dan protokol protokoler.
Tidak hanya menyeru rakyat agar percaya, sementara luka mereka diabaikan.
Sejarah tidak butuh penguasa yang pandai beretorika, melainkan negarawan yang berani hadir, mendengar, dan merangkul. Bila alarm ini diabaikan, legitimasi akan runtuh.
Dan sekali runtuh, kepercayaan rakyat tidak akan mudah dipulihkan.
Namun bila pemimpin hadir dengan kebijakan yang berpihak, dengan sikap yang merendah, dan dengan langkah yang menyejukkan, maka sejarah akan mencatat.
Prabowo Subianto yang dikenal selama ini, bukan sekadar presiden, tetapi negarawan yang berani menjemput keadilan di tengah badai.
Penutup dan Kesimpulan
Rakyat mungkin bisa dibungkam sejenak, tetapi nurani tidak bisa dibungkam.
Gas air mata bisa membuat mata perih, tetapi tidak bisa memadamkan cahaya hati. Pentungan bisa memar di tubuh, tetapi tidak bisa melumpuhkan suara kebenaran.
Dan jika negara terus memusuhi rakyatnya sendiri, maka akan tiba saatnya sejarah berkata:
Negara bisa berganti, tetapi rakyat tetap abadi.
Doa agar terhindar dari marabahaya dalam berbangsa:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ بَلَدَنَا بَلَدًا آمِنًا مُطْمَئِنًّا، رَغَدًا خَيْرَاتُهُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ، وَوَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنَا، وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنَا شِرَارَنَا، وَاحْفَظْ رَعِيَّتَنَا مِنَ الظُّلْمِ وَالْقَهْرِ، وَأَلْهِمْ وُلَاةَ أُمُورِنَا الْعَدْلَ وَالرَّحْمَةَ وَالْحِكْمَةَ.
"Ya Allah, jadikanlah negeri kami negeri yang aman, tenteram, dan penuh dengan keberkahan dari segala penjuru. Pimpinlah kami dengan pemimpin-pemimpin yang baik, dan jangan Engkau serahkan kami kepada pemimpin yang zalim. Lindungilah rakyat kami dari kezaliman dan penindasan, serta ilhamkanlah kepada para pemimpin kami sikap adil, penuh kasih, dan bijaksana."
# Wallahu A’lam Bis-Sawab