Kaidah sosial di atas lahir dari pengamatan terhadap beberapa pemerintahan yang silih berganti, mulai dari Orde Baru hingga Orde Reformasi. Untuk memperjelas fenomena ini, kita dapat menyoroti dua pemerintahan terakhir, yakni Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ketujuh Joko Widodo (Jokowi).
Perbandingan Gaya Kepemimpinan
Presiden SBY tampaknya memiliki kecerdasan dalam menghadapi rakyatnya. Beliau mampu membedakan antara kritik yang bersifat pribadi atau penghinaan dengan kritik atas kebijakan secara umum. Terhadap kritik yang bersifat konstruktif, beliau merespons dengan perbaikan program. Namun, apabila kritik sudah mengarah pada penghinaan pribadi, beliau menempuh jalur hukum melalui Bareskrim. Selain itu, SBY berusaha menegakkan aturan dalam pemerintahannya. Misalnya, ketika putranya, Agus Harimurti Yudhoyono, ingin menjadi pimpinan sebuah partai politik, beliau memastikan agar aturan dipatuhi dengan mengharuskan pensiun lebih dahulu dari dinas militer. Meskipun ada kekurangan selama pemerintahannya, secara garis besar beliau meninggalkan kesan kepemimpinan yang teratur dan berbasis aturan.
Sebaliknya, pemerintahan Presiden Jokowi, menurut para pengamat politik, terbagi menjadi dua fase. Pada periode awal, banyak rakyat yang terkesan dengan gaya kepemimpinannya yang sederhana. Namun, pada periode kedua, mulai muncul kekecewaan dari berbagai pihak. Dengan kekuasaan yang semakin besar di tangannya, beliau mencoba memperpanjang masa jabatannya hingga tiga periode, meskipun akhirnya gagal. Upaya lain yang menuai kontroversi adalah perubahan aturan di Mahkamah Konstitusi yang meloloskan putranya untuk maju dalam kontestasi politik, meskipun belum cukup usia sesuai ketentuan yang berlaku. Selain itu, isu mengenai keabsahan ijazahnya yang tak kunjung selesai turut menambah ketidakpuasan publik.
Gejolak Pasca Pemerintahan
Pasca kepemimpinan SBY, tidak banyak gejolak yang terjadi, sejalan dengan gaya kepemimpinannya yang relatif tenang dan terukur. Beliau tetap disegani, baik oleh pendukung maupun lawan politiknya. Bukannya tidah ada masalah tetapi kecerdasannya mengalahkan kasus itu, seperti peroyek mangkarat di Hambalan dan kasus Bank Century.
Sebaliknya, pemerintahan Jokowi meninggalkan berbagai persoalan, seperti yang terkorup ke dua di dunia, termasuk isu lama yang belum terselesaikan seper kontroversi ijazahnya. Masalah ini sejatinya dapat diselesaikan dengan mudah jika sejak awal beliau bersikap transparan dengan menunjukkan dokumen aslinya. Namun, karena berlarut-larut, isu ini justru semakin ruwet dan menyeret banyak pihak. Saya baru bertemu seorang teman dosen beken UGM dan berkata masalahnya ketika Jakowi mendaftar calon presiden dengan ijazah lain. Tidak diketahui apa ijazah aslinya hilang. Jadi, Jakowi serba salah, ibarat makan buah simalakama dimakan Ibu mati tidak dimakan Bapak mati.
Pelajaran Berharga bagi Pemimpin Masa Depan
Pengalaman dari dua kepemimpinan ini memberikan pelajaran berharga bagi siapa saja yang hendak berkuasa. Berbuat baik dan berlaku adil selama menjabat akan meninggalkan kesan positif setelah kekuasaan berakhir. Sebaliknya, penyimpangan dalam kepemimpinan hanya akan berujung pada gejolak dan ketidakpuasan di kemudian hari. Sebab, kebaikan yang kita tanam akan berbuah kebaikan pula.
Wassalam, Kompleks GFM, Desa Pambusuang, 4 April 2025