Gambar PERBEDAAN ADALAH KENISCAYAAN  (Puisi Refleksi dalam Masyarakat Pluralis)


Artikel ini adalah lanjutan sebelumnya. 

Dalam negeri yang beribu wajah,

berjuta suku dan beragam keyakinan. Dari sini saya dapat pelajaran,

umat harus belajar hidup terbuka

agar perbedaan tak menjadi luka

dan keberagaman tak berubah jadi cela.


Jangankan beda agama bisa kita pahami,

mengapa sesama muslim sulit berdamai?

Padahal mazhabnya satu, kiblatnya sama,

namun retak karena tak terbiasa menerima.


Aku pernah tinggal di negeri yang jauh,

meneliti di Henry Krimer Institut—

pusat pembinaan pemuda Kristen di Belanda,

atas rekomendasi pembimbingku,

Dr. van Dijk, peneliti DI/TII yang bijaksana.


Di sana kutemui persaudaraan lintas batas,

pendeta Dr. Sumartana dari Yogya,

dan Dr. Zakariah Ngelow dari STTK Makassar—

kami duduk melingkar dalam diskusi hangat

tentang perkembangan agama

tanpa rasa curiga, tanpa prasangka sesat.


Apa artinya ini, jika bukan pelajaran?

Bahwa dalam muamalah dan kehidupan,

kita bisa bersahabat dengan siapa pun,

asal iman dijaga,

dan batas tidak dilanggar oleh fanatisme buta.


Hidup lintas iman adalah proses kebiasaan,

bukan sesuatu yang datang tiba-tiba.

Apalagi dalam negara pluralis dan multikultural seperti kita.

Yang dilarang bukan kebersamaan,

tetapi kebablasan yang mengikis akidah diam-diam.


Jangan biarkan sesama saudara

jadi penghalang jalan dakwah dan cahaya.

Kadang justru mereka yang seiman,

yang menuding, menghalang, dan melawan.


Di sinilah pentingnya ilmu,

agar kita tahu mana hak dan mana kewajiban,

mana batas aqidah dan mana ruang kebangsaan.

Sebab Allah sendiri telah berfirman:

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman

dan berilmu di antara kalian.”


Maka mari kita rawat perbedaan,

bukan dengan curiga,

tetapi dengan cinta dan pemahaman.

Agar kita pantas disebut umat Muhammad,

yang rahmatnya meliputi seluruh semesta.


Ada sebuah kisah, ketika Nabi bersama para sahabat dan tiba-tiba melintas usungan jenazah. Para sahabat serentak berkata, ya Nabi saw. Jenazah itu adalah Yahudi. Nabi hanya bertanya, bukankah dia manusia? Menurut Nabi menghormati sesama manusia, sekslipun beda iman, dibolehkan. Sedang jenazahnya dihormati,

Apalagi jika ia masih hidup.


Wassalam,

Kompleks GFM, 16 Juli 2025

Dalam damai dan niat untuk menyatukan umat.