Apakah kerasnya volume corong pelantang (loud speaker) masjid yang menggelegarkan rekaman tilawah Al-Qur’an, salawat tarhim dan azan-ikamah menyebabkan lebih banyak orang yang datang bersalat jemaah di masjid tersebut?
Pertanyaan seperti ini perlu diajukan, terutama di bulan Ramadan, saat musala-musala dan masjid-masjid yang berdekatan kini seakan berlomba melantangkan rekaman pembacaan Al-Qur’an, salawat tahrim, azan, ceramah dan pelaksanaan salat tarawih lewat menara-menara tinggi mereka.
Di awal tahun 2000-an, MUI Makassar, misalnya, pernah mengeluarkan edaran yang mengatur volume dan durasi pelantang masjid memutar pengajian Al-Qur’an atau salawatan sebelum tiba waktu azan.
Sayangnya, tidak banyak pengurus masjid yang mau mematuhi edaran itu. Semasa menjadi wakil presiden, Budiono pernah mengusulkan perlunya deregulasi terkait pelantang suara masjid. Tapi sebelum memahami maksud dari usulan wapres, banyak pihak langsung curiga dan murka.
Semasa menjadi wakil presiden untuk Presiden Jokowi, Jusuf Kalla juga berulang kali mengusulkan perlunya ada aturan tegas tentang volume dan durasi pelantang masjid yang digemakan lewat menara menjelang setiap waktu salat.
Namun, para pengurus masjid tetap saja secara arbitrer menentukan jenis, durasi dan volume suara yang digaungkan lewat corong menara masjid mereka. Yang mencoba protes biasanya langsung dinilai lemah iman atau girah beragamanya.
Mungkin tidak banyak yang ingat peristiwa di akhir Juli 2016 di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Delapan tempat ibadah umat Buddha (Vihara dan Kelenteng) dirusak gegara seorang warga keturunan Tionghoa beragama Buddha mengajukan keberatan terhadap kerasnya volume suara azan magrib yang dikumandangkan dari masjid setempat.
Selama Ramadan beberapa tahun silam, sejumlah masjid di Makassar menggemakan rekaman ceramah sejumlah dai kondang jauh sebelum datangnya waktu imsak. Karena suasana senyap di dini hari, rekaman ceramah sang dai lewat pelantang masjid terdengar hingga beberapa kilometer jauhnya.
Memasuki Ramadan tahun ini (2018), masih ada beberapa Masjid yang menyetel rekaman pembacaan Al-Qur’an sejak waktu imsak hingga azan subuh melalui pelantang luar yang ditempatkan di puncak menara masjid.
Padahal, sangat mungkin saat-saat sebelum imsak, banyak warga Muslim yang tinggal di sekitar masjid yang baru melaksanakan salat malam sendirian di rumah. Mereka tentu memerlukan keheningan. Sementara yang lain mungkin masih membutuhkan tidur yang nyenyak setelah mereka salat tarawih beberapa jam sebelumnya.
Sering juga terdengar pengurus masjid tertentu membangunkan warga sekitar untuk sahur lewat pelantang masjid. Ada yang cukup dengan berteriak keras saja: “Sahur, sahur, sahur!” Tapi, ada juga yang mengiringi dengan ceramah singkat.
Membangunkan warga lewat pelantang atau beduk masjid tentu saja pekerjaan mulia, asal tidak cenderung ngotot. Seakan-akan, jika mereka tidak membangunkan warga, yang disebut terakhir sudah pasti akan bangun kesiangan tanpa makan sahur.
Tapi bukankah teknologi penanda waktu saat ini sudah jauh lebih canggih? Umumnya, warga sudah punya weker, smartphone, atau TV yang bisa berfungsi sekaligus sebagai alarm pembangun. Lagipula, bisa bangun untuk salat tahajud atau untuk bersantap sahur adalah soal niat, tekad dan kebiasaan. Kalau seseorang memang tidak ada niat untuk bangun, segala macam alat pembangun tak akan efektif membangunkannya.
Para pembela penyetelan pelantang masjid yang nyaring dan berdurasi lama biasanya punya argumen standar: demi syiar Islam dan kesemarakan agama. Di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini apa belum cukup terlihat kesemarakan simbol-simbol Islam di mana-mana, apalagi di bulan Ramadan?
Janganlah dulu bicara tentang toleransi dengan warga atau tetangga non-Muslim yang mungkin berdiam di sekitar masjid. Dengan warga sesama Muslim saja, tindakan membunyikan pelantang masjid di hampir setiap waktu di bulan Ramadan dapat saja menjadi bentuk intoleransi terhadap orang-orang yang membutuhkan keheningan di masa-masa antara salat-salat lima waktu. Setuju? []
---------- Sumber, Wahyuddin Halim, "Taat Ritual Tuna Sosial: Etnografi Reflektif atas Tradisi Ramadan Kaum Muslim Indonesia" (Makassar: Carabaca, 2021), Bagian I, #3, h. 22-24.