Gambar PERAN K.H. AS'AD CS DALAM  ISLAMISASI LEWAT BAHASA BUGIS


Penentuan nama K.H. As'ad tidaklah muda, tidaklah muda. Nanti saya temukan diabadikan namanya olehTamar Djaya dalam Pusaka Indonesia, sebuah buku lama, dengan nama Puang Lasade al Bugisi sebagai seorang yang berjasa di Indonesia. Untuk meyakinkan, saya tanyakan langsung pada almarhum Prof. Rafii Yunus, Ph. D.  "Siapa itu Puang Lasade al Bugisi?" Almarhum menjawab bahwa tidak lain dari K.H. As'ad. Peran beliau dalam menyebarkan Islam melalui bahasa Bugis merupakan salah satu upaya penting dalam memperluas dominasi sosial dan budaya Bugis di Sulawesi Selatan. Setelah dia kembali dari Mekah pada tahun 1930, K.H. As'ad membawa serta pemahaman dan pengetahuan Islam yang mendalam dan menggunakan bahasa Bugis untuk mengkomunikasikannya kepada masyarakat luas. Hal ini memudahkan masyarakat Bugis, baik yang berpendidikan tinggi maupun yang awam, untuk lebih memahami ajaran Islam dalam konteks budaya mereka sendiri. Dengan menggunakan bahasa lokal, K.H. As'ad dapat menyampaikan ajaran agama dengan lebih efektif, karena masyarakat merasa lebih dekat dan lebih mudah memahami konsep-konsep yang disampaikan dalam bahasa mereka.

Penggunaan Bahasa Bugis juga menunjukkan pendekatan K.H. As'ad yang inklusif, di mana dia berusaha menjadikan Islam sebagai bagian yang terintegrasi dengan budaya lokal. Dengan demikian, K.H. As'ad tidak hanya memfasilitasi pemahaman agama, tetapi juga berkontribusi pada penguatan identitas dan dominasi Bugis dalam aspek budaya dan agama di Sulawesi Selatan.1) Strategi ini mirip dengan upaya Benjamin Frederik Mattes dalam membakukan Bahasa Bugis pada tahun 1856, meskipun dalam konteks dan motivasi yang berbeda. Jika Mattes berfokus pada bahasa untuk memudahkan penyebaran literasi dan komunikasi antarbudaya serta penyebaran agama Kristen, tetapi K.H. As'ad menggunakan bahasa Bugis untuk mendekatkan agama Islam dengan budaya lokal, serta memperkuat posisi Bugis sebagai pusat intelektual dan keagamaan di wilayah tersebut.2) Sejak awal, Kristen datang lebih dahulu dari pada agama Islam, sekalipun dikenal dalam sejarah bahwa Kristen Katolik lebih duluan datang dari Islam, ditandai dengan dipaptisnya Raja Siang dari Pangkep oleh Antonio de Paiva dari Portugis pada pertengahan abad ke-16. Kenapa Islam yang datang kemudian yang penduduk mayoritas pada masyarakat Sulawesi Selatan. Masalah ini jadi pembahasan tersendiri.

Kita lanjutkan pada judul di atas bahwa pengaruh bahasa Bugis berlangsung secara berkisanambungan ke generasi berikutnya setelah era K.H. As'ad sampai  sampai ke generasi sesudahnya seperti K.H. Abd. Main Yusuf di Sidrap, K.H. Daun Ismail di Soppeng, K.H. Ambo Dalle di Pare-pare, dan  sampai saat ini K.H. Farid Wajdi di Mangkoso, serta di Pesantren As'adiyah sendiri berlanjut sampai kini di Sengkang. Sampai ada di antara santri berpandangan bahwa nampaknya bahasa Arab jika diterjemahkan dengan menggunakan bahasa Bugis rasanya jauh lebih pas. Mungkin saja demikian, karena sudah terbiasa menggunakan bahasa Bugis.

Kedua upaya ini, meskipun berlatar belakang dan motivasi yang berbeda, berdampak signifikan dalam memperkuat dominasi Bugis, baik di rana budaya maupun agama.
Pengaruh ini juga berlanjut di beberapa pesantren, seperti DDI di Pare-pare dan Mangkoso, keduanya juga memakai bahasa Bugis sebagai linggua franca.

PENGARUH BUGIS BERDAMPAK PULA PADA DAERAH SEKTARNYA

Daerah sekitarnya di sini adalah daerah pada suku Mandar. Jika generasi Mandar belajar Islam harus melewati bahasa Bugis, seperti "alifu riasena a alifu riawana i alifu dapanna u." Berlangsung sampai pengajian kitab kuning juga diartikan lewat bahasa Bugis, seperti "Faala feele madi gau laloi purai mabenru. "Itulah yang dialami penulis sendiri bahkan sampai pada komunikasi tertulis orang Mandar masa lalu memakai bahasa Bugis sebagai linggua franca. Sampai ada anggapan sementara bahwa Islam kemungkinan datang dari Bugis, paling tidak pada gelombang kedatangan Islam pada periode berikutnya. Suatu waktu saya mengantar sepupu kelahiran Arab Saudi keturunan Mandar yang Bapaknya, K.H. Muhammad Yasin al Mandari yang sudah bermukim di  Mekkah sejak akhir tahun 1939 dan beliau dipercaya membawkan pengajian di Masjid Haram. Sepupu itu bernama Khaeriah yang melawat ke Sulawesi Selatan untuk pertama kalinya. Saya mengantarnya ke musium Roterdam, dilihatnya pameran aksara Bugis dalam etalase di kaca, kemudian dia memberi komentar bahwa "aksara semacam inilah dahulu dipakai  Bapaku, jika koresponden kepada kepada keluarga di Mandar."
Pengaruh Bugis ini menurut Hamka bahwa tidak sempurna sebuah upacara datuk di Minang jika tidak memakai sarung Bugis. Sarung Bugis yang dimaksud Hamka adalah sarung asli bikinan orang Mandar.3) Demikian pula, menurut Dr.  Alfian, perumahan komunitas Makassar di Ternate, segera diubah menjadi perumahan Bugis menyusul kekalahan Makassar atas Bugis. Hal ini sekaligus menunjukan hegemoni Bugis.

BUGINISASI ATAU ISLAMISASI

Begitu massifnya buginisasi hingga tak lagi bisa dibedakan dengan islamisasi.) 
Bahagian ini tidak akan penulis ulangi membahasnya, tetapi bisa dibaca pada tulisan sebelumnya atau seri pertama.

PENUTUP
Memperbincangkan tentang dominasi Bugis atas Makassar dalam sejarah, bukan berarti sengaja mengungkit-ungkit luka lama  atau konflik masa lalu, justru sebaliknya untuk menghindari konflik agar tidak terjadi di masa depan. Dengan kata lain kita harus hidup lebih bijaksana. Itu juga sebabnya sengaja penulis tampilkan perisriwa "alfitnatul kubra" di era Khalifah Usman atau "Perang Siffing" antara Ali dan Muawiah di masa awal Islam pada studi Sejarah Peradaban Islam di kelas PPs agar umat bisa menghindari konflik itu. Bagi saya belajar sejarah secara jujur ibarat sedang mengendarai mobil bahwa sekali-sekali harus menolek ke kaca spion agar selamat dalam perjalanan ke depan dan tidak ditabrak mobil dari belakang. Bukankah Ir. Soekarno, Presiden pertama RI, mengingatkan "JASMERAH" (Jangan sama sekali melupakan Sejarah)?    Mahasiswa kelas sejarah di PPs selalu saya ingatkan bahwa kita sudah terlalu banyak kehilangan masa lalu. Menurut perkiraan penulis bahwa di Sulawesi Selatan masih seperti hutan belantara yang perlu dibabat. Barulah 5% yang bisa dibabat para sejarawan seperti Mattalada, Abu Hamid dan Hamzah Dg Mangemba sebagai sejarawan lokal dan sebagian sejarawan dari luar seperti J. Noorduijn dari Belanda atau  Christian Pelras dari Prancis dan lainnya. Sisanya 95% masih menunggu babatan dari tangan-tangan trampil para mahasiswa sejarawan muda dari UIN, UNHAS, UNM, UMI, dan Perguruan Tinggi lainnya. Kepada merekalah saya menggantungkan banyak ekspektasi. Sebab menguasai masa lalu berarti mengetahui kedudukan masa kini dan mengetahui kedudukan masa kini berarti memudahkan perjalanan ke masa depan. Inginkan memahami kedudukan masa kini untuk memuluskan perjalan ke depan? Karemanya, kuasailah sejarah alias masa lalu! (Habis)

Wasalam,
Kompleks GPM, 18 Nov. 2024


1) Dikutip dari Chattransformer
2) B.F. Mattes, Bugiseche Chrestomathie (Amsterdam G.A. Sains & Zoon 1883) h. 155.
3) Lihat Darwis Hamsah, dalam Musabagah Tilawatil Quran di Polmas tahun 1972.
4) Ahmad M. Sewang, "Masyarakat Madani, Dalam 
kitab Tuhfat an Nafis karya Raja Ali Haji," Seminar Internasional kerjasama UMI dan Malaya University, 6 Nov. 2024.