Delapan puluh tahun sudah negeri ini menegakkan panji kemerdekaan.
Delapan puluh tahun sejak tangan-tangan pejuang menorehkan sejarah dengan tinta darah dan air mata.
Namun mari kita bertanya dengan jujur pada hati kita:
Apakah kita benar-benar telah merdeka?
Apakah makna merdeka hanya sekadar terbebas dari Belanda dan Jepang, sementara hari ini kita diam-diam menyerahkan jiwa kita pada penjajahan yang tak kasat mata?
Apakah arti kemerdekaan bila tubuh kita bebas melangkah, namun pikiran dan kesadaran kita dipenjara algoritma?
Dari Rantai Besi ke Rantai Virtual
Dahulu, bangsa ini dipaksa tunduk oleh meriam, cambuk, dan kapal perang kolonial.
Sawah dan ladang diambil, keringat diteteskan untuk mengisi perut orang asing. Itu luka lama yang kita kenang.
Hari ini, wajah penjajahan berubah. Ia tidak datang dengan tentara, tetapi dengan sinyal.
Tidak membawa cambuk, tetapi notifikasi. Tidak menjarah rempah, tetapi data dan atensi kita.
Inilah yang kita sebut penjajahan digital. Ketika manusia tidak lagi dipaksa oleh senjata, tetapi dirayu oleh candu.
Ketika kolonialisme bukan lagi penjara besi, tetapi penjara dalam genggaman.
Allah SWT. telah mengingatkan dalam firman-Nya:
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168)
Penjajahan digital adalah langkah setan yang halus, menipu dengan kecepatan, melalaikan dengan hiburan, mengikat dengan kesenangan semu.
Mengapa Kita Terjajah Lagi?
Penyebabnya tidak jauh dari kelemahan kita sendiri. Kita kalah bukan karena teknologi terlalu canggih, tetapi karena jiwa kita lemah.
1. Kita lebih sibuk scrolling layar daripada menundukkan kepala di sajadah.
2. Kita lebih bersemangat mengejar “like” daripada ridha Allah.
3. Kita lebih percaya berita viral daripada firman Tuhan.
Rasulullah SAW.bersabda:
لَتَتْبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ
“Kalian pasti akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta...” (HR. Bukhari-Muslim)
Apakah ini yang sedang kita jalani? Menjadi pengikut buta dari budaya digital global yang tak selalu sesuai dengan fitrah iman kita?
Ciri-Ciri Penjajahan Digital
Lihatlah di sekeliling kita, Anak muda yang pandai menari di TikTok, tetapi gagap membaca Al-Qur’an.
Orang tua yang kehilangan wibawa karena kalah oleh gadget anaknya.
Bangsa yang bersatu dalam kemerdekaan, tetapi terpecah dalam komentar media sosial.
Generasi yang kuat fisiknya, tetapi rapuh jiwanya karena candu layar.
Umar bin Khattab RA. telah berpesan:
نَحْنُ قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ، فَمَهْمَا ابْتَغَيْنَا الْعِزَّةَ بِغَيْرِهِ أَذَلَّنَا اللَّهُ
“Kita adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka Allah akan menghinakan kita.”
Dan hari ini, bukankah benar kita lebih mencari kemuliaan di layar digital, bukan dalam ajaran Islam?
Jalan Keluar dari Penjajahan Digital
Kemerdekaan digital bukan berarti meninggalkan teknologi, melainkan menguasainya dengan nilai-nilai Islam.
1. Menguatkan Tauhid
Hanya Allah tempat bersandar, bukan algoritma, bukan popularitas.
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
2. Melek Literasi, Melek Iman
Gawai adalah alat, bukan tuan. Jadikan teknologi sebagai ladang amal, bukan jerat hawa nafsu.
Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
3. Kembali pada Budaya Silaturahim
Dengan cara membangun hubungan nyata, bukan sekadar chat saja , melainkan harus dalam . bentuk konkrit dalam dunia riel
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari-Muslim)
Makna Kemerdekaan Sejati
Delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia bukan sekadar angka, melainkan cermin: apakah kita benar-benar merdeka, ataukah hanya berganti bentuk penjajahan?
Merdeka sejati adalah ketika bangsa ini tidak hanya mengusir penjajah dari tanahnya, tetapi juga mengusir penjajah dari jiwanya.
Merdeka sejati adalah ketika kita bebas dari candu dunia maya, lalu kembali tunduk hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Dan ketika kita mampu menjadikan teknologi sebagai jalan dakwah, ilmu, dan amal, maka saat itulah kita benar-benar mengisi kemerdekaan dengan makna.
Pertanyaan terakhir sekaligus pertanyaan fundamental untuk kita renungkan secara bersama-sama di hari jadi HUT RI ke-80 ini:
Apakah kita ingin menjadi generasi yang dikenang sebagai penerus pejuang, atau sekadar pengguna gawai yang terlena dalam penjajahan digital?
#Wallahu A’lam Bis-Sawab