Sebelum kenangan tentang Kang Jalal dibukukan,
izinkan saya menyapa sejenak ruang batin,
dengan untaian kata tentang kejujuran
yang makin langka di jalan kehidupan.
Empat tulisan akan hadir mulai esok,
mengurai resah dan luka di tengah masyarakat.
Kejujuran—permata yang mulai retak,
terutama di tangan mereka yang menyebut diri “pemimpin rakyat.”
Oh betapa jauh beda generasi pejuang
dengan wajah tokoh zaman sekarang.
Jika dulu, derita adalah jalan menuju merdeka,
kini derita dijual demi tahta dan harta.
Uang jadi kiblat, bukan alat.
Ia menjelma cantik, lidah, bahkan pedang.
Seperti pepatah Arab yang kita hafal namun kerap lupa maknanya:
“Sesungguhnya uang di mana pun berkuasa,
menarik cinta dan tampakkan pesona,
menjadi lidah fasih tanpa belajar bicara,
dan jadi senjata bagi yang ingin menumpahkan darah.”
Wahai para netizen dan pencari makna,
buka kembali lembar sejarah bangsa:
Soekarno, Hatta, Natsir, Syahrir, dan Salim
bukan pemuja dunia, tapi pecinta kemerdekaan sejati.
Mereka rela miskin asal negeri tak dijual,
kini kita saksikan sebaliknya—
negara dijadikan ladang perburuan,
dan rakyat dibiarkan memikul utang dan kerusakan.
Maka mari kita buka hati,
menyambut empat tulisan ini dengan nurani.
Semoga kejujuran tak tinggal jadi utopia,
tapi tumbuh lagi jadi cahaya bangsa.
Kompleks GFM, 18 Juli 2025
Dengan salam dan harapan,
Ahmad M. Sewang