Sayyidina Ali Bin Abi Thalib RA. Suatu hari berwasiat : لا تقطع وعدًا وأنت سعيد ، ولا ترد وأنت غاضب ، ولا تقرر وأنت حزين
“Jangan berjanji ketika kamu bahagia, jangan membalas ketika kamu marah, dan jangan mengambil keputusan ketika kamu sedih.”(Ali Bin Abi Thalib RA)
Pesan Hikmah dari Ali bin Abi Thalib RA. di atas memberikan arahan penting tentang bagaimana kita seharusnya bersikap dalam situasi yang penuh dengan emosi. Ungkapan ini mengajarkan pentingnya menjaga stabilitas emosi sebelum membuat keputusan atau berjanji dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memahami pesan ini lebih mendalam, kita akan menguraikan setiap bagian dan mengaitkannya dengan panduan Al-Qur’an, hadits Nabi, serta qaul sahabat dan ulama.
1. Jangan Berjanji Saat Bahagia
“لا تقطع وعدًا وأنت سعيد” "Jangan berjanji ketika kamu bahagia."
Berjanji saat berada dalam kondisi bahagia atau euforia bisa membuat seseorang cenderung memberikan janji yang berlebihan atau tidak realistis.
Emosi positif yang kuat dapat mengaburkan penilaian rasional dan mengarahkan pada janji yang sulit ditepati.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT. menekankan pentingnya menepati janji:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
"Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 34)
Hadits Nabi juga memperkuat pentingnya menepati janji. Rasulullah bersabda:
آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا اؤتمن خان
"Tanda orang munafik itu ada tiga: ketika berbicara ia berdusta, ketika berjanji ia ingkar, dan ketika diberi amanah ia berkhianat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Janji yang dibuat dalam kebahagiaan sering kali tidak dipertimbangkan secara matang, dan ketika kenyataan tidak memungkinkan untuk menepatinya, hal ini bisa menjerumuskan pada pengingkaran janji yang tercela dalam Islam.
2. Jangan Membalas Saat Marah
“ولا ترد وأنت غاضب”
"Jangan membalas ketika kamu marah."
Marah adalah salah satu emosi yang sering kali membuat seseorang bertindak tanpa berpikir panjang, mengucapkan kata-kata yang menyakitkan, atau melakukan perbuatan yang disesali di kemudian hari.
Islam mengajarkan pengendalian amarah sebagai bagian dari kesabaran dan ketakwaan.
Dalam Al-Qur'an, Allah memuji orang-orang yang mampu menahan amarah:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
"Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. Ali Imran: 134)
Rasulullah SAW juga bersabda tentang pentingnya menahan amarah:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
"Bukanlah orang yang kuat itu yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Sahabat Ali bin Abi Thalib sendiri juga dikenal dengan kebijaksanaannya dalam menahan amarah. Dalam riwayat, saat Ali hendak membunuh seorang musuh dalam perang, musuh tersebut meludahi wajahnya. Ali menahan diri dan tidak jadi membunuhnya karena takut tindakannya dilandasi amarah, bukan karena Allah.
3. Jangan Membuat Keputusan Saat Sedih
“ولا تقرر وأنت حزين” "Jangan mengambil keputusan ketika kamu sedih."
Kesedihan adalah kondisi emosional yang dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir dan mengambil keputusan.
Dalam keadaan sedih, seseorang cenderung melihat segala sesuatu dari sudut pandang negatif dan keputusan yang diambil sering kali tidak objektif.
Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur’an bahwa kesabaran dan keteguhan dalam menghadapi kesedihan adalah bagian dari ujian kehidupan:
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
"Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 6)
Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
"Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin, karena semua urusannya adalah baik baginya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu juga baik baginya." (HR. Muslim)
Analisis Holistik dan Filosofis
Pesan hikmah ini mencerminkan prinsip dasar dalam manajemen emosi dan pengambilan keputusan yang bijaksana.
Dari sudut pandang psikologi, emosi yang tidak stabil—baik berupa kebahagiaan yang berlebihan, kemarahan yang meluap-luap, atau kesedihan yang mendalam—cenderung memperburuk kualitas keputusan yang dibuat.
Keputusan yang diambil dalam kondisi emosional sering kali tidak rasional dan cenderung membawa konsekuensi buruk.
Secara filosofis, pesan ini mengajarkan pentingnya hikmah atau kebijaksanaan dalam kehidupan.
Kebijaksanaan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga kemampuan untuk menahan diri dan membuat keputusan pada saat yang tepat.
Dalam pandangan Islam, menahan diri dari tindakan yang emosional adalah bentuk nyata dari taqwa dan pengendalian diri, yang merupakan salah satu ciri orang yang beriman.
Manajemen Emosi dalam Perspektif Pesan Hikmah Ali bin Abi Thalib RA
Dalam kehidupan sehari-hari, emosi memainkan peran besar dalam cara kita berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan.
Emosi yang tidak terkendali dapat membawa dampak negatif bagi diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Ali bin Abi Thalib RA, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan kebijaksanaannya, memberikan nasihat abadi yang berfungsi sebagai panduan praktis dalam mengelola emosi. Pesan hikmah yang berbunyi:
"Jangan berjanji ketika kamu bahagia, jangan membalas ketika kamu marah, dan jangan mengambil keputusan ketika kamu sedih",
menggambarkan dengan sangat jelas pentingnya manajemen emosi dalam setiap aspek kehidupan.
*Keterkaitan Manajemen Emosi dan Hikmah Islami"
Dalam ajaran Islam, menjaga keseimbangan emosi adalah bagian dari taqwa. Tindakan impulsif akibat pengaruh emosi sering kali membawa konsekuensi yang merugikan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita pentingnya rifq (lemah lembut) dan hilm (pengendalian diri) dalam segala situasi:
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ "Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala perkara." (HR. Bukhari)
Secara psikologis, emotional intelligence atau kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain. Dalam Islam, ini adalah bagian dari hikmah atau kebijaksanaan yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya yang beriman:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ "Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, sesungguhnya ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak." (QS. Al-Baqarah: 269)
Pesan Ali bin Abi Thalib RA ini adalah perwujudan dari hikmah, yakni kebijaksanaan dalam menjaga emosi dan tindakan. Prinsip ini mencerminkan nilai-nilai Islam yang menekankan pentingnya kesabaran, pengendalian diri, dan refleksi sebelum bertindak.
Manajemen emosi bukan hanya soal psikologi, tetapi juga bagian dari ajaran Islam yang mendalam. Pesan Ali bin Abi Thalib RA mengajarkan kita untuk tidak gegabah dalam bertindak, terutama dalam kondisi emosi yang tidak stabil. Baik saat bahagia, marah, maupun sedih, seorang Muslim dituntut untuk senantiasa berpikir jernih, mengendalikan diri, dan memohon petunjuk Allah sebelum membuat keputusan. Dengan demikian, kita dapat mencapai kehidupan yang lebih damai, bijaksana, dan bermakna.
Kesimpulan
Dari rangkaian uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter dan manajemen emosi merupakan aspek penting dalam kehidupan setiap individu. Pesan hikmah dari Ali bin Abi Thalib RA yang menyarankan untuk tidak berjanji saat bahagia, tidak membalas saat marah, dan tidak membuat keputusan saat sedih, merupakan pedoman praktis dalam mengelola emosi agar tidak tergelincir dalam tindakan yang merugikan.
Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW secara jelas mendukung pentingnya pengendalian diri dan kebijaksanaan dalam bertindak. Menahan emosi bukanlah tanda kelemahan, melainkan manifestasi dari hikmah dan taqwa, yang merupakan kunci untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat. Dalam ajaran Islam, kecerdasan emosional dan kebijaksanaan menjadi pondasi utama dalam membentuk perilaku yang beradab dan harmonis.
Secara keseluruhan, pengendalian emosi dan keseimbangan dalam bersikap adalah bagian dari upaya seorang Muslim untuk selalu berada di jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dengan menjaga sikap dan keputusan dalam situasi emosional yang beragam, seseorang dapat membangun kehidupan yang lebih bijaksana, damai, dan berkualitas.
SEMOGA BEANFAAT Munawir Kamaluddin