Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Pemberdayaan Gender Dalam Islam, Respons terhadap film "Perempuan Berkalung Sorban"
06 Maret 2009
Gustia Tahir
Oleh: Gustia Tahir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Jika ditelaah hadis-hadis Nabi baik secara tekstual maupun kontekstual, akan ditemukan sejumlah hadis sahih yang intinya mendukung pemberdayaan perempuan di segala sektor, dengan catatan tidak melanggar kodratnya sebagai seorang perempuan. Saya begitu berminat untuk menonton film "Perempuan Berkalung Sorban" setelah menyaksikan debat terbuka tentang kontroversi film ini antara perwakilan MUI (Ridwan Saidi dan AYa�qub) dan Sutradara film Hanung Bramantyo didampingi St Musdah Mulia yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta beberapa waktu yang lalu. Saya pun beserta keluarga pergi ke bioskop, tetapi, setelah menyaksikan film tersebut, hati saya gelisah. Ada "pemberontakan" hati kecil yang sangat kuat mendorong saya untuk merespons film ini dan ingin memaparkan bagaimanakah pemberdayaan gender dalam sejarah panjang dinamika Islam, karena apa yang digambarkan di film sangat bertentangan dengan semangat keadilan dalam Islam. Terlepas dari pro dan kontra, film ini memang bagus untuk dilihat, tetapi tentu dengan pemikiran kritis. Sebab di samping menonjolkan tema-tema perjuangan kesetaraan gender, juga menggambarkan kultur pesantren yang masih sangat eksklusif, yang apabila tidak dicerna secara saksama, akan menimbulkan pencitraan negatif terhadap dunia pesantren bahkan agama Islam, khususnya kepada mereka yang awam dengan dunia pesantren. Ali Mustafa Ya'qub (MUI pusat) dan artis kawakan Dedy Mizwar pun angkat bicara tentang kontroversi film ini. Keduanya menyatakan film ini mestinya diedit ulang sebelum ditayang di hadapan publik. Film ini menceritakan perjuangan seorang perempuan bernama Annisa (Revalina S Temat) di pesantren Al-Huda di Jawa Timur milik ayahnya Kiai Hanan (Joshua Pandelaky) pada tahun 1984. Annisa kecil (Nasya Abigail) memiliki naluri pemberontak terhadap diskriminasi gender yang terjadi di dalam pesantren orang tuanya. Keinginannya untuk belajar menunggang kuda dan terpilih menjadi ketua kelas, justru tidak direstui disebabkan dia seorang perempuan. Annisa merasa tak nyaman dengan lingkungan pesantren dan keluarganya karena selalu menyampingkan statusnya sebagai perempuan dengan alasan syariat Islam. Setelah menyelesaikan pendidikan di Pesantren al-Huda, Annisa memutuskan untuk melamar beasiswa di sebuah Universitas Islam di Yogyakarta. Namun, Annisa mendapat garis lain dalam hidupnya yaitu masuk ke dunia pernikahan. Annisa dijodohkan dengan Samsudin (Reza Rahadian) anak seorang kiai yang membantu pesantren Al-Huda. Annisa menerima perjodohan ini dengan syarat dia diizinkan untuk meneruskan pendidikan. Sayangnya, keinginan kuat untuk sekolah itu hanya angan-angan, dunia pernikahan ternyata tidak membawanya kepada kebahagiaan. Annisa mendapatkan "neraka" kehidupan rumah tangga karena perbuatan kasar dan tekanan yang dilakukan sang suami. Tak hanya perlakuan kasar yang didapatkan, Annisa juga dipoligami, bahkan hidup satu rumah dengan istri kedua bernama Kalsum (Francine Roosenda). Annisa tak bisa berbuat apa-apa karena referensi-referensi kitab arab (Islam) klasik selalu dijadikan suami dan keluarganya untuk membungkam pemberontakan Annisa. Annisa akhirnya bercerai dengan suaminya dan memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta. Di kota ini Annisa mulai memperlihatkan bakatnya sebagai penulis. Dia bekerja di sebuah kantor konsultan dan menjadi konsultan andal. Annisa kemudian menikah dengan Khudori (teman kecilnya yang merupakan alumni al-Azhar Cairo) dan kembali ke Al-Huda dengan membawa buku-buku karyanya. Tidak lama bersuami, ia pun menjanda lagi akibat suaminya tewas karena kecelakaan lalu lintas, namun, ia tidak putus asa. Meski di pesantren itu terdapat larangan membaca buku yang berbau dunia luar, dan komunitas pesantren membakar buku-buku atas perintah pimpinan, tapi Annisa tetap gigih memperjuangkan kesetaraan gender sampai akhirnya ia dapat membuat perpustakaan di pesantren Al-Huda. Potret Gender Unequality Setelah mencermati tayangan yang hampir berdurasi dua jam ini, paling tidak terdapat empat kategori ketidakadilan gender yang digambarkan, yaitu pertama, Underistemation. Di dalam film ini, seorang Annisa (sebagai seorang pejuang gender) tidak mempersoalkan kenapa ada manusia yang berjenis laki-laki dan perempuan, namun yang dipersoalkannya adalah mengapa persoalan biologis harus melahirkan ketidakadilan gender yang tidak pada tempatnya. Perempuan dikebiri untuk berkembang, bahkan menjadi ketua kelas sekalipun. Hal ini digambarkan ketika pemilihan ketua kelas di Pesantren al-Huda yang dipandu oleh seorang guru pesantren. Kedua, marginalization. Film ini juga menggambarkan betapa kaum perempuan, dalam kaitan ini, santriwati di Pondok al-Huda tidak diberikan kesempatan untuk membuka cakrawala berpikir dengan melihat realitas dunia luar. Mereka dilarang membaca buku-buku selain buku agama, bahkan dalam sebuah clip, mereka disuruh membakar buku-buku yang dibawa oleh Annisa. Ketiga, violence object. Karena kedudukannya yang dianggap lemah, perempuan sering menjadi objek tindak kekerasan; digoda, dilecehkan, dipukul, diperkosa dan dicerai. Sebagian kekerasan ini pula yang dialami Annisa dalam tayangan film tersebut. Keempat, hard burden (memikul beban berat). Akibat ketidakadilan gender, perempuan harus menerima beban pekerjaan yang jauh lebih berat dan lama daripada laki-laki. Laki-laki yang paling aktif saja, maksimal bekerja rata-rata 10 jam per hari, sedangkan perempuan bekerja 18 jam per hari. Inilah yang dialami Annisa ketika ia menjadi istri Samsuddin. Ia harus melayani dan mengurus rumah tangga, meski pada saat bersamaan ia juga seringkali mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya. Gender dan Islam Jauh dari apa yang tergambar di dalam film "Perempuan Berkalung Sorban", sesuai dengan semangat keadilannya, Islam memandang perempuan sama dengan laki-laki dari semua sisi kecuali dari sudut kodratnya (QS al-Nahl: 97). Karena itu, Allah menempatkan proses kejadian laki-laki dan perempuan dalam satu materi yang sama (QS al-Nisa:1). Ini berarti, bahwa dari sudut agama, Islam menghargai posisi perempuan dan sekaligus memberikan ruang gerak yang luas bagi mereka dalam menjalankan fungsi, peran, hak dan kewajibannya. Contoh perlakuan Islam terhadap kesamaan hak biologis dalam rumah tangga misalnya, dapat dilihat dari hadis yang menyatakan bila suami ingin bersetubuh dan istri menolak, maka si istri akan dilaknat Allah, sebaliknya jika si suami menolak (tanpa alasan yang jelas) keinginan biologis istri, maka si suami pun akan dilaknat. Hanya saja sayangnya, hadis ini sering disampaikan sepihak, sehingga terkesan hanya perempuan yang dilaknat jika tidak melayani suami. Jika menengok sejarah Islam, puncak keadilan bagi kaum perempuan (pada zamannya) justru terjadi pada masa Islam. Pada masa itu, kaum perempuan benar-benar memiliki kesempatan yang luas menjalankan tugas, hak dan kewajibannya dibanding masa sebelum Islam. Doktrin-doktrin Islam yang universal mengangkat harkat dan martabat mereka di tengah masyarakat arab jahiliah. Tradisi-tradisi yang bertentangan dengan Islam segera ditinggalkan dan diganti dengan ajaran Islam yang memberikan semangat keadilan. Di bidang sosial-budaya misalnya, jika sebelum Islam perempuan hanya memiliki peran domestik dan sering menjadi violence object, namun setelah Islam datang, mereka diberi kesempatan untuk berkiprah di masyarakat. Peran domestik sudah melebar kepada peran sosial. Dalam hal warisan, pada awalnya perempuan tidak mendapatkan hak apa-apa, namun setelah Islam datang, mereka diberi hak untuk mendapat warisan. Upaya pemberdayaan perempuan ini juga tampak di sektor pendidikan. Rasulullah memacu kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Oleh karena itu, di zaman Nabi, sudah banyak bermunculan perempuan-perempuan terpelajar. Ruth Roded, penulis buku Women in Islam menyebutkan bahwa di antara koleksi biografi para sahabat, kira-kira 10-15 persen entrinya adalah perempuan, 7 persen perawi hadis dalam kitab Muwatta karya Imam Malik, juga perempuan, dan terdapat tidak kurang dari 1.232 wanita terpelajar tercantum di berbagai koleksi biografi. Meski menunjukkan angka yang fantastis, namun Ruth masih menganalisis bahwa boleh jadi masih banyak potensi kaum perempuan seperti itu, tetapi masih tertutupi oleh bias-bias budaya diskriminatif yang masih ada di dalam kultur masyarakat arab pada saat itu. Pemberdayaan di bidang politik juga tampak di masa ini. Tersebutlah misalnya Aisyah ra (istri Nabi) yang begitu gagah memimpin perang di dalam peperangan Jamal. Fatimah (anak Nabi) juga memiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan kepemimpinan suaminya (Ali). Munculnya peran kaum perempuan di bidang politik ini disebabkan ruang yang diberikan cukup luas kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai peperangan. Mereka bukan saja diajak untuk menyiapkan logistik, tetapi diajak untuk berdiskusi menentukan kebijakan. Akhirnya, penulis berharap kepada penonton agar melihat tayangan ini secara proporsional, rasional dan kritis, sehingga dapat membedakan mana doktrin Islam ideal dan mana kultural? Mana pesantren tradisional eksklusif dan mana pesantren modern yang inklusif, sebab tidak semua pesantren di Indonesia ini sama dengan Pesantren al-Huda di film "Perempuan Berkalung Sorban".