Gambar PEMBEKALAN MENUJU RISET DI LEIDEN


Sebelum kaki menginjak tanah Leiden,

kami disiapkan dengan cermat dan tekun.

Tiga bulan lamanya di jantung Kuningan,

belajar bahasa Belanda di Kedutaan.


Agar tak lelah mondar-mandir Ciputat-Kuningan,

kami pun tinggal di rumah kost sederhana,

berbagi semangat dan cita-cita keilmuan,

menyadari: bahasa adalah jembatan utama.


Tiba di Leiden, langkah pun dilanjutkan,

kursus bahasa Belanda dan Inggris satu bulan.

Bukan hanya kata, tetapi cara meneliti pun diajarkan,

bagaimana menggali ilmu dari perpustakaan.


Dua sumber ilmu jadi pegangan:

bibliotheek Universitas, lengkap dan dalam;

di sanalah kutemukan karya Ibu Ras tercinta,

hasil risetnya bersama dosen dari Gorontalo,

kusampaikan padanya saat ia datang bersua.


KITLV, lumbung warisan masa kolonial,

penuh catatan Indonesia dan Suriname.

Koran-koran Tanah Air hadir setiap hari,

disertasi sahabat-sahabat pun tersimpan rapi.

Disertasiku pun, kata mereka, akan tersimpan nanti,

dan benar, setelah promosi, naskahku diminta langsung,

menjadi bagian dari sejarah yang tak tergantikan.


Kami diajari juga cara memanfaatkan mesin:

memperbesar, mengecilkan, menyalin, menyimpan.

Setiap bulan, seribu lembar fotokopi kami nikmati,

dengan kertasnya, bebas biaya, tiada henti.

Dalam setahun, dua belas ribu halaman kami gali,

ilmu pun kami resapi dengan hati yang penuh syukur.


Tak hanya fasilitas, tetapi juga perhatian,

INIS benar-benar menjadi rumah pembinaan.

Buku-buku, seminar di Paris yang berkesan,

semua menambah semangat pengabdian.


Terima kasih kami untuk Leiden dan INIS,

yang memuliakan tamunya dengan ikhlas.

Di tengah kompleks GFM kutulis kenangan ini,

sebagai wujud syukur pada Ilahi Rabbi.


Wasalam,

Kompeks GFM, 26 Juni 2025