Oleh: Siti Aisyah Beberapa hari lagi pesta demokrasi di negara tercinta ini akan digelar. Para caleg dengan berbagai latar belakang pendidikan, etnis dan agama, berlomba-lomba ikut memeriahkan pesta demokrasi yang paling bergengsi dengan berbagai tujuan dan ambisi, mulai dari mencari popularitas, peningkatan kesejahteraan personal, sampai pada aktualisasi idealisme dalam memajukan negara. Para caleg mencari kendaraan politik atas dasar kesamaan visi, ideologi dan kadangkala hanya mengisi kekosongan porsi yang tersedia di parpol. Caleg perempuan juga berada pada lingkaran itu. Mereka ketiban rezeki karena munculnya aturan yang menetapkan bahwa "setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan DPRD dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen". Sepintas aturan tersebut "menggembirakan" kaum Hawa karena keran demokrasi mulai terbuka sekalipun aturan tersebut masih mandul disebabkan tidak adanya tindakan hukum jika aturan tersebut tidak diindahkan. Genovese berpendapat bahwa keikutsertaan perempuan dalam politik disebabkan oleh tiga hal, dari kalangan politisi (termasuk orang tua atau suami), dikader oleh partai, atau memiliki kapasitas individu untuk terjun di bidang politik. Bagi Genovese, unsur paling dominan adalah unsur pertama dan kedua, sedangkan yang ketiga masih minim karena perempuan yang benar-benar meniti karier politik atas kemampuan dan kapasitasnya bisa dihitung jari. Dalam konteks Indonesia, pandangan Genovese ini ada juga benarnya, sebab hampir semua politisi perempuan menjadi anggota legislatif karena faktor keturunan atau kaderdisasi dari partai politik. Idealnya, perempuan seharusnya meniti karier politiknya atas dasar kepintaran dan kemampuannya sendiri, bukan karena menjadi pengikut. Persoalannya adalah keterlibatan perempuan dalam kancah perpolitikan Indonesia tidak akan berjalan mulus dikarenakan mengalami paling tidak dua hambatan, yakni hambatan struktural dan kultural. Secara struktural, masih menguatnya dominasi laki-laki dalam segala aspek yang berkaitan dengan jabatan-jabatan struktural terutama jabatan strategis di pemerintahan atau ketua partai politik. Laki-laki belum ikhlas memberikan kesempatan secara terbuka kepada perempuan untuk berkompetisi secara objektif yang benar-benar berdasarkan kapasitas intelektual dan profesionalisme. Secara kultural, masyarakat luas masih beranggapan bahwa perempuan hanya cocok pada jabatan tertentu sesuai sifat feminitasnya. Ada dugaan bahwa salah satu aspek munculnya asumsi kultural yang tidak memberikan ruang secara terbuka terhadap perempuan untuk menduduki jabatan strategis adalah interpretasi ajaran agama (Islam). Oleh karena itu, kajian apakah Islam memang memberikan batasan perempuan untuk menduduki jabatan strategis termasuk berpartisipasi dalam dunia politik perlu dikembangkan. Islam dan Mobilitas Perempuan Secara eksplisit, Islam tidak membatasi perempuan terlibat dalam partai politik, memegang jabatan-jabatan strategis, ataupun aktif dalam kegiatan kemasyarakatan (QS Taubah (9): 71), laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah, yang membedakannya adalah tingkat ketakwaan (QS Al-Zariyat (51): 56; al-Hujurat (49): 13; an-Nahl (16): 97), mereka sama-sama sebagai khalifah (QS Al-An'am (6): 165). Ayat Alquran di surah al-Taubah, misalnya berbunyi: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Ayat tersebut menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memikul kewajiban yang sama dan setara dalam berbagai bidang kehidupan. Keikutsertaan laki-laki dan perempuan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan, ekonomi dan kenegaraan merupakan suatu keharusan agar dapat mendorong terciptanya kehidupan yang dinamis, progresif dan egalitarian. Secara historis, Nabi Muhammad saw tidak memberikan restriksi pada istrinya termasuk perempuan pada umumnya untuk terlibat dalam persoalan yang berkaitan dengan kemasyarakatan atau dalam ruang lingkup publik (public domain). Istrinya Khadijah, misalnya merupakan penasihat Rasulullah di bidang ekonomi dan keamanan. Kemapaman ekonomi dan kemampuannya di sektor ekonomi memungkinkan Khadijah untuk berperan sebagai penasihat Rasulullah saw. Selain itu, Khadijah juga sebagai pelindung atau security Rasulullah karena status sosialnya. Orang-orang Quraisy merasa segan untuk mengganggu, menyakiti Rasulullah karena mereka menyadari betul bahwa Khadijah selalu siap dan melindungi Rasulullah. Istri Rasulullah yang lain, Aisyah, dikenal sebagai sumber ilmu pengetahuan di bidang hadis (hukum), sebagai politisi dan terlibat langsung dalam peperangan bersama Nabi saw. Semua ini merupakan bukti autentik bahwa Nabi saja tidak pernah komplain atau keberatan dengan keterlibatan dan tugas Khadijah dan Aisyah. Kalau saja Nabi keberatan, tentu beliau sudah melarang istri-istrinya untuk berkiprah dalam tugas tersebut. Fakta sejarah tersebut dijawab secara parsial oleh sebagian komunitas Muslim bahwa keikutsertaan Aisyah dan perempuan lainnya di medan pertempuran fungsinya semata-mata sebagai palang merah, bukan berada di garda terdepan pertempuran. Jadi, mereka sebagai "pelengkap" saja. Logika yang sama juga dikemukakan di era kontemporer bahwa perempuan boleh-boleh saja terlibat di ranah publik asalkan saja bukan sebagai pejabat tertinggi dalam suatu negara atau pemerintahan, seperti Presiden atau Perdana Menteri. Kelompok yang berasumsi demikian berdasar pada ayat (QS An-Nisa (4): 34) dan hadis yang mengatakan bahwa "tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan". Dua kata kunci dalam ayat ini yang senantiasa diperdebatkan adalah "al-rijal" dan "qawwamun" dan diartikan sebagai "laki-laki" dan "pelindung atau pengayom" atau "pemimpin" (terjemahan Departemen Agama RI). Term "al-rijal" dipahami dalam dua versi yakni laki-laki secara umum dan suami. Kalau dalam konteks laki-laki secara umum menunjukkan bahwa laki-laki sebagai pemimpin perempuan. Pemaknaan ini berimplikasi pada pemahaman bahwa perempuan dilarang menjadi pemimpin untuk laki-laki, karena itu perempuan dilarang menduduki jabatan presiden dan semacamnya. Versi kedua, bermakna suami, mengindikasikan bahwa suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga dan sebagai penanggung jawab secara finansial maupun emosional. Mufassir seperti al-Razi memberikan argumen bahwa laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin karena mereka memiliki kelebihan dari pada perempuan (sesuai dengan fakta sejarah dan kenyataan di masyarakat) misalnya semua Nabi laki-laki, penerima warisan lebih banyak, banyak menduduki posisi penting di masyarakat. Argumentasi inilah yang dipedomani oleh sekelompok umat Islam Indonesia yang berambisi mencekal Megawati Soekarno Putri ketika bersedia mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu 2004 lalu. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sempat memberikan fatwa tidak diperbolehkannya perempuan menjadi presiden. Untungnya, fatwa MUI tersebut tidak lagi terdengar dalam Pemilu 2009 ini sebagai respons atas kesediaan Megawati sebagai capres dari PDIP. Mungkin fatwa semacam itu tidak lagi relevan pada pilpres sekarang. Feminis Muslim seperti Azizah al-Hibra, Amina Wadud dan Nimat Hafez Barazangi mengkritisi pemahaman ayat di atas dan mengatakan ayat tersebut tidak menunjukkan superioritas laki-laki sebagai pemimpin secara totalitas tetapi bersifat kondisional. Artinya, laki-laki bisa saja sebagai pemimpin terhadap perempuan dalam konteks sosial atau rumah tangga kalau laki-laki memiliki kelebihan materi (baik yang bersumber dari warisan atau lainnya) dan mampu memberikan dukungan finansial terhadap keluarganya. Dengan demikian, laki-laki yang dapat dikategorikan sebagai "qawwam" adalah laki-laki yang punya dukungan finansial dan mampu menyejahterakan (mensupport) keluarganya. Terlepas dari argumentasi di atas, laki-laki dan perempuan masing-masing sebagai "qawwam" atau pemimpin atas satu sama lainnya karena mereka adalah partnership sehingga salah satu di antara mereka tidak bisa mengklaim bahwa yang satu paling "hebat, penentu" dari yang lainnya. Muhammad Abduh menganalogikan fungsi laki-laki dan perempuan sama dengan jantung dan kepala manusia (atau organ tubuh lainnya) dalam memberikan kehidupan manusia. Bagi Abduh, jantung tidak bisa dianggap paling penting bagi manusia, sebab manusia tetap tidak bisa hidup kalau hanya memiliki jantung sementara anggota tubuh fital lainnya tidak berfungsi. Demikian juga laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, berikanlah tugas laki-laki dan perempuan secara profesional termasuk di bidang politik, bukan atas dasar perbedaan gender sehingga terwujud masyarakat madani. Wallahu a'lam.