Oleh: Irfan Idris (Guru Besar Politik Hukum Islam UIN Alauddin Makassar) Wacana formalisasi syariat Islam ke dalam konstitusi oleh berbagai kalangan selalu menjadi isu aktual, terutama bagi kelompok yang ingin menarik simpati masyarakat menjelang pemilu. Tapi terlepas dari cara dan upaya menyuarakan nurani rakyat dan menarik simpati konstituen, aspek pluralisme (suku, agama, ras dan adat) masyarakat Indonesia dan aspek materi syariat Islam sendiri, sejauh ini belum bisa dirumuskan secara baku. Kedua aspek tersebut menuntut perhatian yang saksama dari kita dalam menerapkan syariat Islam di Indonesia. Selain kedua aspek tersebut, beberapa paradigma pemikiran politik Islam modern dapat dijadikan catatan penting dalam menganalisa wacana Islam dan politik yang selalu aktual, karena akar perdebatan diterapkannya syariat Islam pada sebuah negara selalu diwarnai perdebatan antara agama dan politik. Watt menggambarkan hubungan agama dan politik dalam Islam dalam bukunya "Islamic Political Thought". Pertama, gagasan keagamaan menjadi semacam kerangka ideologis ketika terlibat dalam bermacam aktivitas, sehingga aktivitas yang dilakukan memperoleh arti penting. Kedua, agama dapat menentukan bentuk-bentuk motif Islam aktivitas yang akan dilakukan. Adanya signifikansi agama dalam politik, diakui oleh Watt bukan karena agama memberikan penjelasan yang sifatnya terinci terhadap semua hal, tetapi karena agama memberikan berbagai tujuan umum kepada manusia dalam kehiduan dan membantunya memusatkan kekuatan untuk mencapai berbagai tujuan tersebut. Robert N Bellah menyatakan bahwa masyarakat Islam klasik adalah modern secara politis. Tidak lagi dipersoalkan, demikian ia menegaskan dalam bukunya "Beyond Belief", bahwa di bawah Nabi masyarakat Arab telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dalam kapasitas politik. Demikian juga tidak terlalu mengherankan, jika umat Islam menjadikan sejarah politik Islam dalam periode Nabi sebagai model ideal yang senantiasa diidamkan sepanjang sejarah. Pemikiran politik Islam seperti juga pemikiran Islam dan gerakan Islam pada umumnya dapat dilihat sebagai hasil dari kelanjutan dan perubahan yang berlangsung dalam sejarah Islam. Perkembangan modern dalam Islam mengandung unsur-unsur baru, tetapi juga berakar dalam Islam masa pra-modern atau klasik. Gerakan-gerakan Islam kontemporer yang beragam di negara-negara muslim merupakan fenomena historis yang berakar secara mendalam di samping juga refleksi dari dimensi sejarah Islam yang panjang dan berkesinambungan. Paradigma pemikiran politik Islam modern terbagi tiga bahasan, a). Paradigma tradisionalisme terdiri dari dua bahasan pokok yaitu idealisme tradisional Rasyid Ridha, dan Realisme tradisional Kalam Azad. b). Paradigma modern mencakup; Rasionalisme Muhammad Abduh, Sekularisme Ali Abd Raziq, dan Rekonstruksi Muhammad Iqbal. c). Paradigma Fundamentalisme mencakup teodemokrasi Abu A�la al-Maududi dan pandangan dunia Islam Sayyid Qutb. Paradigma Tradisional Rasyid Ridha sebagai tokoh politik idealisme tradisional menyatakan bahwa kekhalifahan adalah wajib hukumnya dan kewajiban ini didasarkan pada syariah dan konsensus. Ia merujuk pada karya-karya al-Mawardi, al-Gazali, dan Sa�d al-Din al-Taftazani, walaupun ia mengkritik tajam Ibn Khaldun yang mengajukan gagasan solidaritas kelompok sebagai basis masyarakat politik yang relevan dengan misi kenabian dan kekhalifahan. Rasyid Ridha membela tipe pemerintahan yang bercirikan kedaulatan rakyat, yakni pemerintahan yang dibentuk oleh perwakilan dan musyawarah lewat ahlul halli wa al-aqdi dan kesetiaan umat. Ridha memandang ahlul halli wa al-aqdi sebagai perwakilan yang sah dari umat. Ridha menekankan kualifikasi pengaruh, baginya memiliki kualifikasi pengaruh yang efektif lebih penting bagi anggota majelis, karena dengan demikian mereka akan punya otoritas final dan mampu menegakkan keputusan-keputusan mereka dalam umat secara keseluruhan. Ridha mendasarkan konsepsinya tentang negara Islam pada syariah, komitmennya yang kuat pada Islam memaksanya mempertahankan Islam melawan kelompok berorientasi modernis sekuler yang cenderung pada westernisasi. Walaupun awalnya ia termasuk salah seorang dari lingkaran intelektual reformis. Dalam pandangan Kalam Azad, realisme tradisional merupakan gerakan kekhalifahan di India yang dipertahankan oleh Azad, dalam arti ingin mendukung bentuk tradisional pemerintahan Islam, yakni kekhalifahan sebagaimana terjelma dalam kekhalifahan aktual yakni kekhalifahan Usmani. Dalam teori kekhalifahan Azad, khalifah harus dipilih oleh semua orang Islam, tapi kalau pemilihan tidak mungkin, khalifah yang berkuasa dapat menyatakan kekuasaan dirinya secara legal, seorang khalifah de facto, menurut Azad berhak atas seluruh hak prerogatif dari khalifah de jure. Azad juga menekankan jihad sebagai kewajiban bagi setiap muslim untuk mempertahankan kekhalifahan, konsepnya tentang jihad menunjukkan bahwa solidaritas dan kesatuan Islam pada hakikatnya bersifat politik dan keagamaan. Paradigma Modern Kaum modernis berpendapat bahwa penyebab keterbelakangan peradaban umat Islam adalah stagnasi intelektual dan kekakuan ulama dalam memahami Islam dan dalam menanggapi dinamika kehidupan modern. Karena itu pemikir modernis menyerukan pentingnya ijtihad yang dengan itu revitalisasi Islam dapat ditempuh. Rasionalisme Abduh menegaskan bahwa hakikat pemerintahan Islam tidak bersifat keagamaan, tapi bersifat duniawi (al-sultah al-madaniyah). Dalam merespons teori politik Barat moderen, Abduh menawarkan gagasan-gagasan menarik, salah satunya adalah bahwa Islam tidak mengakui segala bentuk kedaulatan agama. Setelah menggambarkan hakikat pemerintahan duniawi, Abduh selanjutnya menyatakan bahwa kekuasaan politik harus didasarkan pada kekuasaan rakyat atau kehendak rakyat. Kedaulatan rakyat ini harus dibangun atas dasar prinsip kebebasan (hurriyah) yang integral, konsultasi (syura), dan konstitusi (qanun) yang berfungsi sebagai landasan sistem politik tersebut. Kesimpulan ide-ide modernis Abduh adalah bahwa Islam tidak menentukan bentuk musyawarah, dua ayat Alquran menyangkut prinsip musyawarah (QS 3: 159 dan QS 42: 38), hanya menyatakan pentingnya musyawarah bagi umat dalam memecahkan masalah-masalah mereka. Sedangkan bentuk dan praktik musyawarah untuk mencapai kesejahteraan umat diserahkan pada umat sendiri. Model Abduh mengenai musyawarah mencakup sejumlah prinsip dan pelaksanaannya; mencegah kediktatoran, menyimbolkan pernyataan kebebasan politik, menuntut adanya gerakan politik, tidak mempunyai mekanisme yang spesifik, dan membenarkan adanya hubungan simbiotik antara penguasa dan rakyat. Konsep dasar dari sekularisme Ali Abd Raziq dalam al-Islam wa Ushul al-Hukm adalah menolak dasar-dasar pemerintahan Islam. Ia menegaskan bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan khalifah yang empat, bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi. Ali Abd Raziq menegaskan pula bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam Alquran maupun sunah, keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah, tidak ada penunjukan yang jelas baik dalam Alquran maupun sunah mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun oleh Islam. Namun demikian, Ali Abd Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan, Islam sebaliknya tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam Alquran, Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Implikasi yang lebih besar dari ide-ide Ali Abd Raziq dinyatakan bahwa tidak ada dalam agama yang menghalangi umat Islam bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam bidang-bidang ilmu sosial dan politik, dan yang menghalangi penghancuran tatanan yang telah usang yang telah menguasai dan merendahkan umat, dan untuk mendirikan kekuasaan negara dan organisasi pemerintahan mereka yang didasarkan atas pencapaian akal manusia yang paling modern, dan atas dasar pengalaman-pengalaman yang paling solid dari bangsa-bangsa mengenai prinsip-prinsip yang terbaik dari pemerintah. Paradigma Fundamentalisme Maududi menyatakan bahwa dalam perspektif syariah, ada empat prinsip yang mendasari negara Islam; mengakui kedaulatan Tuhan, mengakui otoritas Nabi, mengakui status perwakilan Tuhan, dan menggunakan musyawarah bersama. Ddari titik pandang prinsip-prinsip ini, kedaulatan yang sebenarnya adalah milik Tuhan. Negara hanya berfungsi sebagai alat politik yang dengannya hukum-hukum Tuhan dijalankan. Dengan konsep teodemokrasi. Maududi ingin mengungkapkan suatu konsep antitesis atas demokrasi Barat sekuler yang didasarkan hanya pada kedaulatan rakyat, dan karena itu bertentangan dengan Islam. Negara Islam bertumpu pada dua prinsip yaki kedaulatan Tuhan dan perwakilan manusia. Dalam pandangan Maududi ideologi Islam yang dirumuskan dari elaborasi sistematik atas wahyu Alquran, dirumuskan dalam semangat penyerahan pada keesaan dan kedaulatan Tuhan. Ia berfugsi sebagai acuan utama bagi sistem sosial, ekonomi, dan budaya dari negara Islam. Karena menurut ideologi Islam kedaulatan dan hak untuk membuat hak hanya milik Tuhan. Maududi menjelaskan bahwa legislasi hukum oleh lembaga-lembaga seperti lembaga legislatif dan konsultatif dibatasi oleh syariah. Tokoh aliran fundamentalis lainnya adalah Muhammad Qutb. Pandangan dunia Islam yang dirumuskan oleh Qutb mencakup enam prinsip yang terstruktur bagaikan piramida, yang pertama dan paling utama yaitu ketuhanan Tuhan dan doktrin tentang keesaan Tuhan. Empat prinsip lainnya yang berhubungan dengan karakteristik pandangan dunia Islam, menunjukkan ketetapan, kesempurnaan, keseimbangan, kepastian dan pragmatisme. Dalam persepsi Qutb, pandangan dunia Islam, komprehensif dalam arti permanen, komplit dan aspek-aspeknya tidak bisa dipisah-pisahkan, meskipun pandangan dunia Islam tak sepenuhnya dapat dipahami manusia, bahkan ia memberi keseimbangan dan harmoni antara yang terlihat dengan yang tersembunyi.