Di tengah gemuruh zaman yang mendesak,
angin globalisasi meniup tanpa lelah,
membawa budaya asing tanpa arah,
menusuk nilai, menggoda marwah.
Materialisme menjelma jadi tuhan baru,
individualisme merenggangkan tali bersatu,
hedonisme menari di layar dan waktu—
dan sirik, penjaga jiwa, kian bisu.
Namun di balik awan yang gelap merundung,
masih ada cahaya yang diam bergaung:
Pancasila tetap dijaga dalam undang,
agama dibina lewat madrasah dan mimbar terang.
Pangngaderreng—meski tertantang,
tak gentar, tak layu di arus berkembang,
karena ia bukan batu, tapi akar dan batang,
yang hidup dalam tubuh Bugis yang tenang.
Musyawarah tanpa voting,
adalah jiwanya yang paling hakiki,
menghindari dominasi, menolak tirani,
menjunjung mufakat, bukan sekadar opini.
Ia bukan hukum beku tanpa daya,
tapi hukum terbuka, dinamis, bernyawa,
menyatu dalam syariat, tak bisa dipisah,
seperti aliran sungai menuju rahmat Allah.
Tak melihat darah, tak menilai keturunan,
tapi menimbang laku dan perbuatan.
Yang luhur budi, itulah bangsawan,
bukan karena nama, tapi karena kebenaran.
Nilai-nilai luhur terus disemai:
iman kepada Tuhan yang Mahatinggi,
kejujuran yang tak bisa dibeli,
kesetiakawanan sosial yang tak henti,
ikhtiar gigih menjemput rezeki,
dan musyawarah dalam kasih yang murni.
Selama itu dipahami dan dihidupkan,
pangngaderreng tak akan tenggelam dalam zaman,
ia akan berdiri, walau angin bertiup tajam,
karena ia ruh—bukan sekadar warisan diam.
Kompleks GFM, 26 Juni 2025
Tulisan ini kututup besok dengan sebuah puisi khusus untuk Ibu Ras, sebagai penghormatan yang abadi,
dan sebagai harapan agar nilai-nilai langit dan bumi,
tetap bersinergi dan hidup dalam sanubari setiap generasi.