Saat terjadi musibah banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Dipicu oleh cuaca ekstrem selama beberapa hari, dengan wilayah yang paling berdampak yakni: Aceh Tamiang, Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan.
Bangsa ini bangkit dan secara spontan menunjukkan solidaritas kemanusiaan tanpa memandang suku, agama, dan profesi. Ibarat orang yang tadinya tidur lelap, kemudian terbangun ketika dentuman “banjir dan tanah longsor” menghantam kamar tidurnya. Jika panggilan itu hanya berupa suara bel, lonceng, dering telepon, atau suara teriakan, telinga nurani kita tak lagi mampu mendengarkan.
Apakah setelah dentuman “banjir dan tanah longsor” yang membangunkan nurani kemanusiaan dan keindonesiaan kita akan tidur kembali berselimut ketamakan dan egoisme? Ataukah ini dijadikan sebagai awal sebuah kebangkitan? Jawabnya nurani kemanusiaan meniscayakan kepedulian untuk menghapus derai air mata dan penderitaan sebangsa dan setanah air yang hadir di pelupuk mata seluruh anak bangsa tanpa sekat agama, suku, profesi dan tempat domisili.
Secara teologis sebuah riwayat menyebutkan, suatu hari Tuhan berkata kepada Nabi Musa. “Hai Musa, engkau mengaku beriman dan cinta kepada-Ku, tetapi engkau tidak peduli dan tidak mau menolong-Ku yang tengah kedinginan, lapar, sakit, dan kesepian”.Dengan takut dan bingung, Musa pun menjawab, “Ya Tuhan-Ku yang Maha Agung, mana mungkin Engkau kedinginan, lapar, sakit, dan kesepian? Bukankah jagat raya dan seluruh isinya adalah milik-Mu dan Engkau tidak memerlukan semua itu?” Tuhan pun menjawab, “Jika hamba-Ku memberi makanan, obat-obatan, pakaian, dan menghibur pada sesama hamba-Ku yang lain yang tengah dirundung duka, maka sama halnya mereka itu menolong-Ku karena Aku selalu berada bersama dan di tengah para fakir miskin dan mereka yang tengah memperoleh musibah”.
Riwayat seperti ini juga dengan mudah kita jumpai dalam himpunan hadis qudsi bahwa sesungguhnya kalau seseorang ingin dekat pada Allah, dekatilah para fakir miskin dan mereka yang tengah teraniaya. Semangat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan merupakan salah satu inti dari ajaran Nabi Ibrahim, kemudian diteruskan oleh Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw.
Hari ini panggilan Nabi Ibrahim yang dilanjutkan Nabi sesudahnya begitu lantang terdengar berkumandang dari Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Barang siapa hendak mendekatkan diri kepada Allah, datanglah ke sana untuk meringankan beban dan menghibur mereka akibat bencana banjir dan tanah longsor. Temuilah Allah di tengah-tengah mereka yang berduka akibat kehilangan keluarga, tempat tinggal, pekerjaan dan teman.
Pangkal dari bencana banjir dan tanah longsor dari posisi geografis, betapa kecil dan rentannya habitat kita yang dikurung oleh lautan luas, dihuni oleh sekian gunung berapi, sementara hutan semakin rusak. Jika anugerah alam yang demikian indah dan kaya raya ini tidak disyukuri dan dirawat, yang akan terjadi adalah kerusakan dan malapetaka.
Semua kerusakan karena hilangnya semangat untuk santun dan bersahabat dengan alam, lalu diganti dengan sikap rakus dan egoisme tidak lagi peduli pada lingkungan alam maupun sosial. Ajaran agama senantiasa mengingatkan kita agar senantiasa santun dan berdamai dengan alam, menghilangkan sikap egoisme dan keserakahan melebur dalam gelombang kemanusiaan yang memiliki kepedulian dan hati nurani.
Momentum ini dapat mengusik nurani kemanusiaan kita, terpelihara dan berkembang menjadi derap energi kebangkitan Indonesia untuk mengakhiri krisis dan melebur keakuan kita dalam kekitaan, hiruk pikuk saling tuding lenyap dalam semangat persaudaraan, pada gilirannya melahirkan kepedulian sebangsa dan setanah air yang memiliki rasa kemanusiaan dan solidaritas yang tinggi ketika saudara-saudara kita di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara terkena musibah. Semoga mata hati kita tetap mampu melihat dan menikmati tarian alam yang begitu indah yang merupakan rumah kita. (*)
Alat AksesVisi