Gambar NEGERI TANPA PENDENGAR: Zaman Semua Ingin Bicara, Sedikit yang Mau Mendengar”


Ada pertanyaan yang seharusnya menggugah kita sebelum menegur siapa pun; apakah kita sungguh mendengar sebelum berbicara, atau kita hanya menunggu giliran untuk menumpahkan isi kepala tanpa pernah mengizinkan suara lain hidup?.


Mengapa masyarakat hari ini begitu cepat mengkritik, namun begitu lambat memahami? Mengapa kita mudah menunjuk kesalahan orang lain, tetapi kaku saat harus bercermin pada diri sendiri?.


Pertanyaan-pertanyaan ini seakan mengetuk pintu jiwa, memaksa kita menatap kenyataan bahwa bangsa ini sedang kekurangan satu hal paling mendasar dalam peradaban, yakni kemampuan untuk mendengar dengan hati.


Allah menggambarkan kemuliaan pendengar sejati dalam firman-Nya:

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ

"Yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik darinya."

(QS. Az-Zumar: 18)


Ayat ini tidak sedang memuji orang banyak bicara, tetapi mereka yang mengolah suara, memilah, menimbang, lalu mengambil yang paling baik. 


Mereka tidak tergesa-gesa menyimpulkan, tidak emosional dalam merespons, dan tidak ambisius membenarkan diri. 


Mereka mendengar untuk memahami, bukan untuk mengalahkan. Maka Allah menutup ayat itu dengan keagungan:

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

"Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka adalah pemilik akal yang jernih."


Betapa berbeda dengan keadaan kita hari ini. Media sosial bising, ruang publik gaduh, meja rapat penuh suara tetapi miskin kebijaksanaan. 


Setiap orang ingin didengar, namun semakin sedikit yang ingin mendengar. Orang berbicara tidak untuk solusi, tetapi untuk memenangkan emosi. 


Orang berdebat bukan untuk kebenaran, tetapi untuk kebanggaan. Kritik menjadi pelampiasan, bukan pembangunan.


Padahal Allah memperingatkan keras orang yang hanya pandai berkata-kata, tetapi tidak mengukur diri:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ

"Wahai orang-orang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan?"

كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

"Amat besar kemurkaan Allah terhadap kalian yang mengatakan apa-apa yang tidak kalian lakukan."

(QS. As-Shaff: 2–3)


Ayat ini adalah cermin paling jujur bagi bangsa yang cerewet dalam kritik tapi kikir dalam aksi. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada masyarakat umum, tetapi juga para elite, para intelektual, bahkan sebagian tokoh agama. Banyak bicara, namun minim kerja. 


Banyak mengomentari, sedikit memperbaiki diri. Mereka mengira derasnya kata-kata adalah tanda kecerdasan, padahal Nabi SAW. mengingatkan:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرًا أو ليصمت

"Siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam."

(HR. Sahih al-Bukhari dan Muslim)


Diam bukan tanda ketidakmampuan, tetapi tanda kedewasaan.Mendengar bukan kelemahan, tetapi kecerdasan jiwa.


Sahabat mulia, Umar bin al-Khattab pernah berkata:

«رحم الله امرأً أهدى إليّ عيوبي»

"Semoga Allah merahmati orang yang menghadiahiku kesalahan-kesalahanku."

Ia tidak mencari pembenaran, tetapi perbaikan. Tidak mengagungkan suaranya, tetapi kebenaran.


Di negeri tanpa pendengar, kritik menjadi bencana, bukan alat perbaikan. Karena kritik tanpa kedewasaan hanya akan melahirkan permusuhan, caci maki, dan saling tuduh. 


Dalam situasi seperti ini, solusi tidak akan pernah muncul, sebab solusi lahir dari jiwa yang jernih,dan kejernihan hanya tumbuh dalam budaya mendengar.


Lihatlah bagaimana Imam Al-Ghazali mengingatkan dalam Ihya’ Ulumiddin:

آفة العلم اللسان

"Penyakit ilmu adalah terlalu banyak bicara."


Ilmu yang tidak disertai adab akan melahirkan kesombongan intelektual. Dan kesombongan itu membuat seseorang merasa paling benar sehingga menutup telinga terhadap siapa pun.


Padahal, yang membuat seseorang mulia bukanlah panjangnya kata-kata, tetapi ketepatan sikap. Bukan kerasnya suara, tetapi tenangnya hati. Bukan tajamnya kritik, tetapi dalamnya introspeksi.


Ketika bangsa ini berhenti mendengar, ia bukan hanya kehilangan keutuhan sosial, tetapi juga kehilangan arah spiritual. 


Sebab dalam Islam, mendengar adalah pintu hidayah. Wahyu pertama turun bukan “katakanlah”, tetapi: اقْرَأْ, bacalah,

dan membaca menuntut keheningan, perhatian, dan pendengaran batin.


Maka, jika hari ini kita merasakan betapa riuh negeri ini, sesungguhnya yang hilang bukanlah suara kebenaran, tetapi ruang untuk mendengarnya. 


Kita butuh lebih banyak hati yang duduk tenang, telinga yang lapang, dan pikiran yang jernih. Kita butuh generasi yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga pandai menahan diri, tidak hanya lincah mengkritik, tetapi juga luwes memperbaiki diri.


Kita tidak akan menjadi bangsa besar kalau hanya pandai menyalahkan, namun buta terhadap kekurangan sendiri. 


Kita tidak akan menjadi umat yang kuat kalau hanya berebut bicara, tetapi enggan mendengar. Dan kita tidak akan menjadi pribadi yang matang jika hanya mencari kesalahan orang lain, tetapi tidak pernah menunduk untuk melihat retakan dalam diri.


Maka marilah kita kembali kepada adab wahyu, yakni mendengar sebelum berkata, memahami sebelum menghakimi, dan memperbaiki diri sebelum menuntut orang lain berubah. 


Semoga setiap kata yang kita ucapkan adalah kebaikan, setiap kritik adalah jalan perbaikan, dan setiap perbedaan kita hadapi dengan jiwa yang tenang.


Karena negeri ini tidak membutuhkan semakin banyak suara,  ia hanya membutuhkan lebih banyak pendengar yang tulus.


اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ، وَاهْدِنَا لِأَقْوَمِ الطَّرِيقِ.


“Ya Allah, jadikan kami hamba-hamba yang mendengar setiap perkataan lalu mengikuti yang terbaik darinya, dan bimbinglah kami ke jalan yang paling lurus.”


#Wallahu A’lam Bishawab