Gambar NAFAS SYARIAT DALAM NADI ADAT


Di jantung Bone yang bijak dan dalam,
berdenyut adat, berpadu syariat nan terang.
Pangngaderreng — titian leluhur penuh hikmah,
menyambut syariat sebagai cahaya arah.

Tak sekadar aturan, bukan hanya warisan,
tapi pandangan hidup, ruh dalam peradaban.
Mengajarkan manusia tentang Tuhan dan sesama,
tentang negara, hukum, dan etika mulia.

Sirik—rasa malu sebagai benteng nurani,
penjaga harkat, penjaga martabat diri.
Bila norma tergelincir, ia berdiri menegur,
agar jalan tetap lurus, harkat tetap luhur.

Kolonialisme datang membawa arus keras,
namun tak sanggup hapus akar yang deras.
Belanda tak membunuh, hanya menyaksikan,
adat tetap hidup, tak lapuk dimakan zaman.

Kemerdekaan menjelma ruang baru berpijak,
Pancasila tegak, payung yang bijak.
Mengakui agama dan adat sepenuh jiwa,
dalam “Bhinneka Tunggal Ika” yang menggema.

Pangngaderreng pun lestari dalam semangat bangsa,
menjadi bagian dari hukum yang kita jaga.
Tak tertulis, namun nyata dalam denyut masyarakat,
menjadi pengawal tatanan, menjaga amanat.

Kini hukum Islam berdiri tegak mandiri,
tak sekadar bernaung di balik adat sendiri.
Dalam peradilan, ia bersuara tegas,
dalam Undang-Undang, jejaknya jelas.

Adat dan syariat bukan dua kutub bertentangan,
tapi dua mata air satu kehidupan.
Menyatu dalam Bugis, dalam jiwa yang bersih,
menjadi nafas dan nadi dalam satu tarikan kasih.

Wasalam,
Kompleks GFM, 24 Juni 2025