Gambar MURID YANG BERETIKA DAN GURU YANG RENDAH HATI

Dinukil dari status Facebook seorang teman:

Seorang ahli nasab Ismail al-Ghunawi berkata, “Fakhruddin ar-Razi datang ke Merv. Ia seorang ulama yang sangat dihormati dan disegani. Tidak ada yang berani membantahnya dan tidak ada yang berani bersuara di hadapannya.
Aku sering mengunjunginya untuk membacakan buku kepadanya dan belajar darinya. Suatu hari, ia berkata kepadaku, “Aku ingin kamu menuliskan sebuah buku ringkas tentang nasab untukku agar aku dapat menghafalnya.”
Aku pun melakukannya, dan aku datang kepadanya dengan buku itu. Ia turun dari kursinya,
dan duduk di atas tikar bersama para muridnya, dan ia menyuruhku duduk di kursi itu. 
Aku menolak, dan ia pun memarahiku, “Duduklah di tempat yang aku suruh!”
Maka aku duduk di kursi, dan ia pun mulai membaca buku itu, dan bertanya kepadaku tentangnya, lalu aku menjawabnya.
Setelah selesai, ia berkata kepadaku, "Sekarang kamu bisa duduk di mana pun kamu mau. Tadi, kamu adalah guruku dan aku adalah muridmu. Etikanya kamu duduk di kursi dan aku duduk di hadapanmu di atas tikar.”

Betapa mulianya penghormatan kepada guru dalam cerita ini. Fakhruddin ar-Razi, seorang ulama yang sangat dihormati dan disegani pada masanya, menemukan bahwa salah satu muridnya lebih tahu daripada dirinya tentang nasab, sehingga ia memintanya untuk menulis buku tentangnya. Ketika buku itu berada di tangannya,
ia mendudukkan sang murid di kursinya, dan ia duduk di atas tikar. Ia menunjukkan kerendahan hati kepada orang yang dia ambil ilmunya, meski pada dasarnya dia adalah salah satu muridnya.

Sibawaih dalam bukunya, Al-Kitâb, yang disebut oleh para pakar tata bahasa sebagai “Al-Quran-nya tata bahasa”, menceritakan bahwa
ketika ia mengutip pendapat gurunya, Al-Khalil, dalam suatu masalah, dan ingin menyanggahnya, ia merasa segan menyebutkan namanya karena menghormati gurunya. 
Ia berkata, “Al-Khalil berkata begini, dan sebagian orang berkata begitu, dan inilah yang benar.” yang dimaksud dengan “sebagian orang” adalah dirinya sendiri.

‘Abdullah bin ‘Abbas, yang bergelar penerjemah Al-Qur’an, adalah murid Zaid bin Tsabit, yang bergelar al-Ḥabr al-Baḥr (tinta laut).
Suatu hari, Zaid bin Tsabit menaiki tunggangannya.
‘Abdullah bin Abbas berdiri dan memegang tali kekang tunggangannya.
Zaid berkata kepadanya, “Jangan lakukan ini, wahai sepupu Rasulullah!”
‘Abdullah bin Abbas berkata kepadanya, “Demikianlah kami diperintahkan untuk berbuat kepada guru-guru kami.”
Zaid pun mengambil tangan ‘Abdullah bin ‘Abbas dan menciumnya.
Dia berkata, "Demikianlah kami diperintahkan untuk berbuat kepada keluarga Nabi kami.”
Betapa mulianya adab sang murid, dan betapa rendah hatinya sang guru.

Bersikaplah santun kepada orang yang telah mengajarimu satu huruf, menjelaskan kepadamu satu ayat, 
menyampaikan kepadamu satu hadis, 
memberikanmu satu manfaat bahasa,
atau memberimu satu hikmah sastra.
Karena inilah salah satu akhlak yang tanpanya ilmu tidak akan bermanfaat sedikit pun.