Gambar MUNGKINKAH PERBEDAAN SUNNI, SYIAH,DAN AHMADIYAH DISATUKAN? (Refleksi Lintas Mazhab, Seri 6)

1. Jalan Dialog dan Harapan yang Riil

Menyatukan lewat teologi,

mungkin masih jauh dari jangkauan,

tapi mengapa tak dimulai dari yang mungkin?

Dari cinta yang nyata, bukan cita yang bimbang.


Seperti ekumenis dalam dunia Kristen,

mari promosikan dialog yang menyentuh persamaan.

Bukankah kita menyembah Tuhan yang sama,

dan menjunjung Al-Qur’an yang satu,

yang diturunkan lewat Nabi yang satu pula?


Aku pernah ke Qum, Iran,

hanya untuk membeli mushaf Al-Qur’an.

Sepuluh buah kubawa pulang,

kuserahkan ke MUI—

sebulan mereka telaah,

hasilnya: tiada beda satu huruf pun jua.

Masih Mushaf Usmani,

bukan dongeng atau sangkaan semata.


2. Jika Berangkat dari Persamaan

Jangan mulai dari rel perbedaan—

sebab rel hanya sejajar, tak pernah bersua.

Mulailah dari simpul kasih yang bisa dijalin:

dari Maulid yang sama dirayakan,

dari cinta pada Rasul yang tak terbagi.


Di Bandung, pengajian bersama telah berlangsung,

lebih dari dua puluh kali pertemuan.

NU dan IJABI—Dr. Zuhairi dan Dr. Miftah—

muda, gigih, dan sadar bahwa umat

butuh jembatan, bukan pagar.


3. Jejak Nabi, Jejak Harapan

Nabi pun memulai dari kecil,

bersama segelintir sahabat yang setia.

Tapi dakwah tak pernah sia-sia,

hingga cahaya Islam menerangi Jazirah.

Begitulah harapan harus disemai,

dengan sabar, tak gentar oleh perbedaan.




4. Jangan Takut pada Maulid

Di kompleks makam Khomeini,

aku saksikan Maulid Nabi dirayakan.

Begitu pula dari Maroko hingga Marauke,

hampir semua rayakan kelahiran Sang Kekasih.

Hanya satu negeri yang tak ikut—

karena berpegang tak ada contoh dari Nabi.


Tetapi bukankah cinta lebih luas dari sekadar teks?

Bukankah umat butuh teladan yang lembut,

bukan sekadar hukum yang kaku?


5. Perbedaan adalah Sunnatullah

Mengapa harus mempertajam beda,

padahal banyak kesamaan yang bisa dipelihara?

Perbedaan bukanlah kutuk,

ia adalah sunnatullah untuk berlomba dalam kebaikan.


Konfliklah yang dilarang,

bukan variasi dalam penafsiran.

Al-Qardhawi pernah berkata:

“Siapa yang bermimpi Islam satu versi di seluruh dunia,

itu tak mungkin—karena bertentangan dengan sunnatullah.”


6. Dari Mimpi Menuju Kerja Nyata

Tiap tahun, konferensi di Tehran

mengangkat tema: taqrib baina al-madzahib.

Aku pernah hadir dua kali,

meski tak selalu bisa karena tubuh tak sekuat dulu.


Namun aku percaya,

dialog yang konsisten,

kerja sama kemanusiaan,

dan niat baik yang tulus—

dapat meretas jalan damai.


Sunni dan Syiah telah bersama

dalam kemanusuaan, seperti memerangi kemiskinan,

memajukan pendidikan,

dan memperjuangkan hak asasi.


7. Kesimpulan: Ruang Damai Itu Ada

Penyatuan total mungkin masih jauh,

tetapi keharmonisan sangat mungkin dijajaki.

Kita tak perlu menghapus perbedaan,

cukup menyediakan ruang untuk hidup berdampingan.


Mari genggam semboyan suci ini:

"Berbeda adalah sunnatullah menuju fastabiqul khaerat."


Wasalam,

Kompleks GFM, 2 Agustus 2025