Gambar MUNGKINKAH PERBEDAAN DISATUKAN? (Refleksi Persaudaraan Katolik-Protestan – 2)


Ada tanya yang berulang datang,

mengendap dalam hati yang bimbang:

Mungkinkah dua sekte ini bersatu,

dalam kasih, meski beda jalan yang dituju?


Katolik dan Protestan,

dua cabang pohon yang tumbuh dari satu akar iman.

Mereka sempat berselisih tajam dalam sejarah,

namun kini mulai membuka jendela maaf dan musyawarah.


Di berbagai belahan dunia terdengar suara,

kelompok ekumenis yang menyulam asa.

Mereka mencari titik temu,

di atas dasar cinta dan sabda Kristus yang satu.


Meski luka lama belum sepenuhnya sembuh,

dan Irlandia Utara masih menyimpan keluh,

namun di sana pun lahir upaya,

untuk menanam benih damai di ladang duka.


Perbedaan teologis memang tak mudah dipadam,

telah mengakar dalam sejarah yang panjang.

Namun bukankah niat tulus menyatu,

bisa mengalir dalam kerjasama yang syahdu?


Di medan sosial mereka kerap seiring:

di meja bantuan, sekolah, dan pembangunan sekeliling.

Di sana, mereka bukan dua,

tapi satu dalam misi kemanusiaan dan cahaya.


Beberapa berkata:

Persatuan bukan berarti peleburan.

Tak perlu menghapus institusi atau lambang,

cukup menyatu dalam jiwa dan semangat juang.


Jika bersatu formal sulit diraih,

maka bersatulah dalam kasih yang tak letih.

Dalam saling menghormati, saling memahami,

dan terus mencari makna di balik perbedaan yang abadi.


Penyatuan penuh mungkin belum dalam waktu dekat,

tapi jalan menuju saling percaya terus dibentang tak berjarak.

Sejauh langkah tetap ditemani niat,

persatuan dalam perbedaan tak lagi mustahil disemat.


Setahun di Leiden jadi saksi,

kuhabiskan riset dan dialog hati.

Pendeta Slob, teman sejiwa lintas keyakinan,

membawaku hadir di majelis pengajian.


Karena ia perempuan yang santun dan halus,

kupanggil sahabatku Dr. Nurnaningsih, peneduh arus.

Semua biaya ia tanggung sendiri,

dari tiket, transportasi hingga rasa berbagi.


Kini ia telah kembali ke pangkuan Ilahi,

kata Pendeta Zakaria, dengan suara yang lirih.

Aku berdoa dalam hening yang panjang,

semoga damai menyertainya dalam pelukan Tuhan yang terang.


Yang membuatku tertegun dan kagum,

pengajian Prof. Arkoun di Rotterdam bukan sembarang forum.

Pesertanya mayoritas Nasrani yang setia,

Oʻyang bijaksana.


Prof. Arkoun, cendekia dari Aljazair,

Guru Besar Sorbonne yang pikirannya tak pernah kering.

Metodenya memukau, lugas dan terang,

menembus sekat agama dan peradaban yang kadang bimbang.


Dan saat kembali ke tanah air tercinta,

aku pun menerapkannya dalam ceramah Halalbihalal di Papua.

Peserta banyak yang beragama Kristen,

namun dengan pendekatan yang sama, tiada benturan, hanya kedekatan.


Di Henri Krimer, satu hal kuingat teguh:

antara agama samawi, tak saling mendahului dalam peluh.

Maka Kristen di Barat melaju,

karena hanya berhadapan agama lokal yang redup dan kelabu.


Namun saat ke Timur, seperti Nusantara,

mereka bertemu Islam yang telah lebih dulu menyemai cahaya.

Meski Kristen disokong penguasa, penyebarannya tinggal mencari wilayah kosong, seperti Batak, Toraja, Dayak, dan Papua,

Kristen pun bergerak di jalur yang tersedia.

Menghormati yang telah datang lebih awal,

dan membangun di wilayah-wilayah yang masih bebas dari ikatan sakral.


Beginilah catatan perjalanan jiwa,

dalam lintas iman dan waktu yang lama.

Semoga jadi jembatan kecil,

kita berjalan bersama di dunia yang kerap gersang dan kerdil.


Wassalam dari Kompleks GFM, 29 Juli 202