Apakah suara kebenaran masih memiliki ruang di tengah hiruk-pikuk kepentingan kekuasaan?
Apakah fatwa hari ini masih menjadi penunjuk arah, atau sekadar gema yang mengendap di ruang-ruang mimbar tanpa daya ikat kebijakan?
Dan ketika regulasi negara lahir tanpa dialog etik yang memadai, sementara ulama hanya dipanggil untuk menenangkan kegelisahan publik, apakah ini tanda kedewasaan demokrasi , atau justru kemunduran nurani bangsa?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar wacana akademik. Ia adalah kegelisahan kolektif yang lahir dari kenyataan sosial.
Jarak yang semakin menganga antara nilai dan kekuasaan, antara agama dan regulasi, antara suara umat dan keputusan negara.
Di titik inilah Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri, di persimpangan sejarah, antara peran luhur sebagai penjaga moral bangsa dan realitas pahit sebagai aktor yang kerap dipinggirkan dalam proses penentuan arah kebijakan.
Sejak kelahirannya, MUI dimaksudkan sebagai wadah kebijaksanaan para ulama, zu‘ama, dan cendekiawan Muslim.
Ia bukan alat politik, bukan pula institusi negara, melainkan penjaga kompas etik umat Islam di tengah dinamika kebangsaan.
Namun perjalanan sejarah menunjukkan pergeseran yang perlahan namun nyata, negara semakin percaya diri membangun tata kelola publik berbasis prosedur hukum semata, sementara suara moral keagamaan kerap ditempatkan sebagai pelengkap, bukan sebagai rujukan utama.
Padahal dalam pandangan Islam, ulama tidak pernah diletakkan sebagai hiasan sosial. Mereka adalah pewaris misi kenabian. Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.”(HR. Abu Dawud)
Warisan para nabi bukanlah kekuasaan atau kedudukan, melainkan amanah kebenaran dan keberanian moral.
Maka ketika ulama ,melalui MUI dipinggirkan dari proses perumusan regulasi, yang sesungguhnya tersisih bukan hanya lembaga, tetapi ruh etika dalam penyelenggaraan negara.
Al-Qur’an menegaskan posisi ulama sebagai penjaga kesadaran moral terdalam:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.”
(QS. Fathir: 28).
Ayat ini bukan pujian simbolik, melainkan peringatan struktural. Negara yang meminggirkan rasa takut kepada Allah dalam proses kebijakannya, sesungguhnya sedang membangun sistem yang dingin: sah secara hukum, tetapi kering secara nurani.
Dalam praktik kenegaraan hari ini, MUI sering hadir di ujung proses, bukan di pangkalnya. Ia diminta pandangan setelah keputusan hampir final, dijadikan rujukan saat polemik telah membesar, dan dipanggil ketika negara membutuhkan legitimasi sosial.
Namun dalam fase paling menentukan , dalam penyusunan regulasi , suara MUI sering kali tidak menjadi variabel utama. Ia berubah fungsi, dari penjaga moral menjadi penjinak kegelisahan publik.
Di sinilah ironi itu terasa menyesakkan. Agama dibutuhkan untuk meredam, tetapi dihindari ketika mulai mengkritik.
Fatwa dihargai sejauh sejalan dengan agenda, tetapi dianggap mengganggu ketika berseberangan.
Demokrasi yang seharusnya membuka ruang dialog justru selektif terhadap suara etik.
Para sahabat Nabi telah lama memberi teladan bagaimana kekuasaan seharusnya bersikap terhadap nasihat moral.
Umar bin Khattab RA. seorang pemimpin yang tegas dan kuat, justru berkata dengan penuh kesadaran:
“لا خير فيكم إن لم تقولوها، ولا خير فينا إن لم نسمعها.”
“Tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak berani menasihati kami, dan tidak ada kebaikan pada kami jika kami tidak mau mendengarnya.”
Ucapan ini adalah fondasi politik bermoral: kekuasaan hanya layak dihormati jika bersedia dikoreksi. Negara yang menutup telinga dari suara moral sedang berjalan tanpa kompas.
Imam al-Ghazali, berabad-abad sebelum lahirnya negara modern, telah memperingatkan relasi rapuh antara agama dan kekuasaan:
“الدين أَسٌّ والسلطانُ حارسٌ، وما لا أَسَّ له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع.”
“Agama adalah fondasi, dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa yang tidak memiliki fondasi akan runtuh, dan apa yang tidak dijaga akan sia-sia.”
Ketika agama hanya dijadikan simbol, dan regulasi berjalan tanpa fondasi moral, negara mungkin tampak kokoh dari luar, tetapi rapuh di dalam.
Undang-undang bertambah, tetapi keadilan terasa menjauh. Prosedur ditegakkan, tetapi rasa benar dan salah mengabur.
Namun kejujuran intelektual menuntut kita bercermin ke dalam. MUI sendiri berada dalam ujian sejarahnya.
Terlalu dekat dengan kekuasaan berisiko melumpuhkan daya kritis, terlalu jauh berisiko kehilangan pengaruh.
Di sinilah persimpangan itu nyata dan tak terelakkan. Ibn Taymiyyah mengingatkan dengan tajam:
“إن الله يقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة، ولا يقيم الدولة الظالمة وإن كانت مسلمة.”
“Sesungguhnya Allah menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak menegakkan negara yang zalim meskipun muslim.”
Pesan ini menampar kesadaran kita, keadilan adalah syarat keberlangsungan negara, dan ulama adalah penjaga api keadilan itu.
Jika MUI kehilangan keberanian moral, dan negara kehilangan kesediaan untuk mendengar, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar relasi kelembagaan, melainkan masa depan etik kebangsaan.
Akhirnya, pertanyaan itu kembali kepada kita semua, apakah kita menginginkan MUI yang aman tetapi sunyi, atau MUI yang lantang meski berisiko?
Apakah negara berani membuka ruang bagi suara yang mungkin tidak selalu nyaman, tetapi jujur dan menyelamatkan?
Sejarah selalu mencatat satu pelajaran pahit, bangsa tidak runtuh karena kekurangan regulasi, tetapi karena kehilangan keberanian untuk mendengar kebenaran.
Dan di persimpangan inilah MUI berdiri, bukan sekadar memilih peran, tetapi menentukan apakah ia akan tetap menjadi penjaga cahaya moral, atau hanya bayangan yang muncul sesaat ketika dibutuhkan, lalu menghilang ketika arah telah ditetapkan.
#Wallahu A’lam Bis-Shawab
Alat AksesVisi