Di tengah langit pasca gelap G30S, Angin perubahan berhembus lembut— membuka jendela dakwah yang sempit, menggugah hati pemuda dan umat.
Ketua IMMIM, H. Fadli Luran yang bijak, menatap zaman dengan cahaya iman. Daripada radio menyuara lagu-lagu erotis, mengapa tidak lantunkan ayat suci sebagai pengganti?
Gagasan besar lahir di Masjid Raya, ditempa dari niat tulus dan cinta agama. Disampaikan kepada penguasa negeri, dan dijawab dengan restu penuh arti.
Maka 1968 pun menjadi saksi, MTQ Nasional pertama digelar di bumi Makassar— di stadion Mattoangin yang gegap gempita, tempat jutaan doa dan harap mengudara.
Aku saat itu masih remaja di kampung jauh, namun demam MTQ sampai juga ke pelosok jiwaku. Radio menjadi nyala obor di setiap rumah, mengantar suara langit hingga ke sudut desa.
Setiap malam, orang berkumpul, menyimak bacaan suci yang menyejukkan, menjadi semacam penyembuh luka setelah duka kelam tragedi bangsa.
MTQ bukan sekadar lomba, ia gema iman, gairah baru kehidupan. Ia tanda masyarakat ingin pulih, dari goyahnya jiwa karena makar yang usang.
Namun kini, sayang seribu sayang, gedung MTQ di Tallasalapang hening tak bernyawa, tak sepadat masa silam ketika iman membara, ketika ayat suci menembus gelap zaman.
Padahal sejak 1949, tilawah telah bersemi dalam ruh bangsa. Namun baru 1968 ia berwajah nasional, berkat IMMIM dan RRI— yang menyalakan lentera dari timur negeri.
Makassar menjadi tonggak, disusul Bandung, Banjarmasin, dan seterusnya. MTQ menjadi bagian sejarah, bagian dari denyut iman Nusantara.
Kompleks GFM, 20 Mei 2025