Gambar MERAYAKAN MALAM TAHUN BARU DI NEGERI


Malam tahun baru 1994, saya sedang riset di negeri "Kincir Angin", Belanda. Malam itu, kami yang tergabung dalam program fellow INIS (Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies) memiliki dua agenda:

1. Menikmati suasana malam tahun baru di kota Leiden.

2. Menghadiri undangan seorang teman asal Yogyakarta, Suminto, yang telah berpuluh tahun tinggal di Belanda.

Pertama, Menikmati Malam Tahun Baru di Leiden
Suasana malam tahun baru di Leiden sangat berbeda dengan di tanah air. Jalanan dipenuhi muda-mudi yang larut dalam tradisi mereka—berkerumun, mabuk-mabukan, dan berciuman di tempat umum. Kebiasaan ini terlihat di mana-mana, termasuk di sudut-sudut kota. Kami hanya menjadi pengamat, sadar bahwa kami tinggal di negeri mereka, harus menghormati kebiasaan mereka. Seperti pesan nenek moyang: "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."

Kedua, Merayakan Tahun Baru di Rumah Seorang Teman
Setelah itu, kami lanjut menghadiri undangan seorang teman yang sudah puluhan tahun tinggal di Belanda. Ia adalah seorang akademisi asal Yogyakarta yang pernah menerima beasiswa sebelum peristiwa G30S/PKI. Namun, peristiwa tersebut membuatnya tertahan di luar negeri hingga akhirnya meminta suaka politik.

Di rumahnya, kami disambut hangat bersama hidangan khas yang telah ia siapkan. Bersama istrinya dari Austria dan putrinya yang telah beranjak remaja, ia menyambut tahun baru dengan kembang api di beranda rumahnya. Dalam obrolan, terdengar kerinduan mendalam akan tanah air, meskipun sudah bertahun-tahun ia tinggal di Belanda. Barangkali, kehadiran kami menjadi pelipur rindunya pada Indonesia.

Penutup
Malam itu memberikan pengalaman yang mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan budaya, sembari merefleksikan betapa kuatnya hubungan emosional dengan tanah air, meskipun seseorang telah tinggal jauh dan lama di negeri orang.

Wasalam,
Kompleks GFM, Akhir Tahun 2024