Dunia hari ini sedang mencari pelipur lara. Di tengah kegaduhan politik, perang saudara, dan bencana kemanusiaan, nurani umat manusia seperti tercekik oleh asap kebencian dan dendam. Inilah yang seringkali orang sebut dengan ungkapan dunia menangis dan nurani merintih.
Namun dalam hiruk-pikuk itu, selalu lahir juru damai, mereka yang tak dikenal karena kekuasaan, tetapi karena kelembutan hati yang memeluk semua perbedaan.
Salah satu sosok yang mewujudkan nilai-nilai luhur itu adalah Paus Fransiskus, seorang pemimpin umat yang hidup dalam kerendahan hati, menyuarakan perdamaian lintas batas, dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Lepas dari perbedaan agama yang pasti kontribusi beliau dalam menciptakan perdamaian dan menjunjung tinggi persaudaraan dan kemanusiaan patut diapresiasi dan menjadi tauladan.
Kini, dengan wafatnya beliau, dunia seakan kehilangan salahsatu mata air sejuk yang menyirami padang gersang permusuhan.Termasuk konflik berdarah atau lebih tepat disebut pembantaian anak manusia dan upaya pembumi hangusan sebuah peradaban dan kemanusiaan dibumi Falestina atas kekejaman Zionis Israel dan sekutunya.
Namun sesungguhnya, menjadi juru damai bukan hanya tugas para pemimpin agama. Itu adalah panggilan bagi setiap insan yang ingin mewarisi bumi ini dengan cinta, bukan luka. Dalam fungsi kekhalifahan yang diamanahkan Allah.
Mari kita gali lebih dalam: bagaimana Islam memandang peran juru damai? Apa hakikat perdamaian, persaudaraan, dan kemanusiaan dalam ajaran ilahi? Dan bagaimana kita sebagai umat dari berbagai iman dan keyakinan dapat menjadikan nilai-nilai ini sebagai jalan menuju kesempurnaan peradaban?
I. Perdamaian: Nafas Kehidupan dalam Ajaran Ilahi
Perdamaian dalam Islam bukan hanya sebuah kondisi, tetapi prinsip dan tujuan hidup.
Dari kata “Islam" sendiri berasal dari akar kata "salama" yang bermakna damai.
Seorang Muslim sejati adalah mereka yang kehadirannya membawa rasa aman bagi manusia dan makhluk lain. Allah berfirman: “وَإِن جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ" (الأنفال: 61) "Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah." (QS. Al-Anfal: 61)
Perdamaian tidak hanya dimulai dari gencatan senjata, tetapi dari keikhlasan jiwa untuk merendahkan ego.
Inilah yang yang sebagaimana dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW. dalam Piagam Madinah, sebuah konstitusi perdamaian yang menghargai keberagaman dan hak semua komunitas, tanpa membedakan sekat-sekat agama.
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ إِصْلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ" (رواه “الطبراني) "Sedekah yang paling utama adalah mendamaikan antara dua pihak yang berselisih." (HR. Ath-Thabrani)
Paus Fransiskus, dalam banyak pertemuan antaragama, memilih untuk berdialog, bukan berdebat. Ia membuktikan bahwa damai tidak membutuhkan senjata, tetapi keberanian untuk mengasihi.
II. Persaudaraan: Jembatan Hati yang Mengalahkan Perbedaa
Dalam dunia yang tercerai-berai oleh identitas, warna kulit, dan doktrin, persaudaraan adalah jembatan yang paling kokoh. Islam menyebutnya ukhuwwah. Ia bukan hanya hubungan darah, tetapi simpul spiritual yang mengikat umat manusia dalam nilai-nilai bersama. Allah berfirman: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ" (الحجرات: 10)" "Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 10)
Rasulullah SAW bersabda: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ" (رواه البخاري ومسلم) "Tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim)
Paus Fransiskus menyuarakan nilai yang sama melalui Document on Human Fraternity yang ia tandatangani bersama Grand Syaikh Al-Azhar. Sehingga dari situ, dunia menyaksikan bahwa cinta kasih bisa melampaui doktrin. Ibnu Qayyim menyatakan: “الدين كله خلق، فمن زاد عليك في الخلق، زاد عليك في الدين" "Agama itu adalah akhlak. Siapa yang lebih baik akhlaknya darimu, maka lebih baik pula agamanya."
III. Kemanusiaan: Martabat yang Diberikan Allah kepada Semua
Kemanusiaan adalah anugerah ilahi yang tidak boleh dikotori oleh kebencian. Dalam Islam, semua manusia adalah ciptaan Allah yang dimuliakan. وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ..." (الإسراء: 70)” "Dan sungguh Kami telah memuliakan anak-anak Adam..." (QS. Al-Isra': 70)
Rasulullah SAW menangis ketika melihat jenazah Yahudi dibawa lewat di depannya. Sahabat pun bertanya, dan beliau menjawab: “أَلَيْسَتْ نَفْسًا؟" "Bukankah itu jiwa manusia?"
Paus Fransiskus, dalam kunjungannya ke kamp-kamp pengungsi, memeluk mereka yang dilupakan dunia. Tangisannya adalah simbol dari nilai yang suci: setiap jiwa adalah nyawa yang layak diselamatkan.
IV. Menjadi Juru Damai: Dari Diri Sendiri Hingga Dunia
Menjadi juru damai tidak dimulai dari podium, tetapi dari hati yang tulus. Dari kata-kata yang lembut, dari tindakan yang menyatukan. Ibnu Taimiyah berkata: “ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب" "Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban tanpanya, maka ia menjadi wajib."
Jika menciptakan perdamaian adalah kewajiban, maka mendamaikan dan menjadi agen cinta adalah tanggung jawab kita semua.
Paus Fransiskus telah berpulang, namun semangatnya menjadi warisan. Warisan yang menunggu untuk diterjemahkan dalam tindakan-tindakan kecil: mengulurkan tangan, memaafkan yang bersalah, dan menyebarkan senyum. Sebagaimana sabda Nabi:
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ صَدَقَةٌ" (رواه “الترمذي) "Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah." (HR. Tirmidzi)
Kini, ketika dunia kehilangan satu juru damai, maka setiap kita ditantang untuk mengambil peran. Janganlah menunggu menjadi besar untuk berbuat baik. Karena damai, persaudaraan, dan kemanusiaan adalah tugas seumur hidup.
Kita tidak bisa menyelamatkan dunia, tapi kita bisa menjadi sebab satu jiwa tetap hidup dalam cinta.
وَجَعَلْنَا مِنْكُمْ أُمَّةً وَسَطًا" (البقرة: 143)” "Dan Kami jadikan kamu umat pertengahan..." (QS. Al-Baqarah: 143)
Jadilah juru damai. Meski tanpa panggung. Meski tanpa sorot cahaya. Karena cahaya sejati adalah yang bersinar dari dalam hati.
Kesimpulan dan Penutup
Di tengah dunia yang penuh gejolak dan luka kemanusiaan, peran juru damai menjadi sangat krusial.
Perdamaian bukan sekadar tidak adanya konflik, melainkan hadirnya kasih, keadilan, dan penghargaan terhadap martabat manusia.
Islam menjadikan perdamaian sebagai inti ajaran, persaudaraan sebagai fondasi sosial, dan kemanusiaan sebagai nilai universal yang mengikat umat manusia tanpa sekat agama maupun budaya.
Keteladanan tokoh seperti Paus Fransiskus sebagaimana bertebaran tokoh teladan dari generasi sahabat dan para As-shalfussaleh lainnya dan generasi berikutnya dalam kepemimpinan Islam, membuktikan bahwa menjadi juru damai bukanlah monopoli agama tertentu. Ia adalah perwujudan akhlak luhur yang sejatinya diajarkan oleh semua agama langit. Ketulusannya dalam memperjuangkan cinta kasih lintas batas memberikan inspirasi bahwa dunia bisa disatukan, bukan oleh senjata, tapi oleh kelembutan hati dan ketulusan jiwa.
Kini, ketika dunia kehilangan satu sosok peneduh, tugas kita bukan hanya berduka, tetapi meneruskan semangatnya. Menjadi juru damai adalah tanggung jawab kolektif kita semua, baik sebagai muslim, sebagai warga dunia, maupun sebagai manusia yang memiliki hati nurani.
Mari mulai dari diri kita: menjaga lisan, menyemai kebaikan, mendamaikan yang berselisih, dan membangun jembatan cinta di atas reruntuhan kebencian.
Karena pada akhirnya, dunia tidak menunggu orang hebat, tetapi manusia biasa yang bersedia berbuat kebaikan. #Wallahu A'lam Bishawab