Aku pernah menjejak di negeri “Kincir Angin”,
tanah datar yang menampung angin dan angan,
menimba ilmu, bukan sekadar riset kerajaan,
tapi membuka cakrawala tentang persaudaraan.
Agustus sembilan tiga aku tiba,
dan setahun penuh kuterpa cahaya,
di Leiden, kota tua sarat makna,
kutemui naskah, pustaka, dan cerita lama.
Henri Krimer jadi rumah kajian,
pusat kader pemuda Protestan,
di dalamnya kutemukan jejak Portugis,
penyebar Katolik yang dulu menginjak Sulawesi.
Rekomendasi van Dijk membawaku ke sana,
penulis kisah DI/TII yang menggugah nalar dan rasa.
Meski riset utamaku Kerajaan Gowa,
kutapaki pula soal relasi antar agama.
Kupelajari peta agama di Enciclopedia.
Eropa Barat dan Utara, seperti Jerman, Skandinavia, Inggris, telah lama menjadi wilayah dominasi Protestan (Lutheran, Anglikan) sedangkan bagian selatan seperti Italia, Spanyol, Polandia lebih dominan Katolik. Setelah konflik sejarah seperti Peperangan Agama pada abad ke-16 dan ke-17, akhirnya tercapai kesepakatan damai Peace of Augsburg dan Peace of Westphalia mengatur toleransi beragama dan pembagian wilayah denominasi pertengahan abad-17.
Kutatap Protestan dan Katolik di Barat,
berjalan seiring tanpa memaksakan syariat.
Mereka beda, tapi tetap bisa bersapa,
lalu hatiku pun bertanya:
mengapa kita tak bisa?
Sekalipun masih ada daerah tertentu yang rawang konflik, seperti di Irlandia Utara.
Jika di Barat mereka berdamai dalam iman,
mengapa kita di Timur bersilang dalam keyakinan?
Sunni, Syiah, Ahmadiyah bertanya-tanya,
mungkinkah kita membangun cinta dan cahaya?
Bahkan dalam tubuh Sunni sendiri,
Seperti hasil penelitian mahasiswan
di perumahan Sidoarjo yang kuteliti,
tiga wajah NU hidup berdampingan:
reformis, normatif, dan tradisional bertahan.
Dalam hubungan peringatan haul.
Yang satu menolak haul karena dalil,
yang satu mendukungnya dengan dalil pula,
yang satu mempertahankan demi leluhur,
tapi semua tetap dalam tubuh yang jujur.
Itula hasil riset disertasi sengaja saya diundang mengujinya di Sunan Ampel Surabaya.
Inilah cermin umat di masa kini,
beraneka ragam dalam satu jalinan dini.
Maka perlu riset, perlu pemahaman,
untuk menjahit kembali benang kebangsaan.
Moderasi bukan sekadar jargon,
tapi panggilan iman yang tak boleh ditangguhkan.
Bhinneka tunggal ika, bukan sekadar semboyan,
tapi jembatan menuju ridha dan kedamaian.
Tulisan ini hanyalah permulaan,
pintu kecil menuju samudra toleransi ke depan.
Agar kelak anak cucu tak bertanya,
kenapa kita pernah berselisih karena surga?
Wassalam dari Kompleks GFM
28 Juli 2025