Ahmad M. Sewang
(Guru Besar Sejarah Peradaban Islam UIN Alauddin Makassar)

 

        Tulisan ini dimaksudkan untuk menyambut Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-11 di Bangka Belitung tanggal 10-13 bulan ini. ACIS adalah pertemuan tahunan para ilmuwan untuk tukar informasi sekaligus menjadi arena pameran tentang capaian yang diperoleh Perguruan Tinggi Agama selama setahun terakhir. ACIS dilaksanakan sejak tahun 2001 dan mengalami perkembangan signifikan ketika dilaksanakan di PPs UIN Alauddin Makassar, 25 s.d. 27 Nopember 2005. Di sinilah pertama kali pesertanya diperluas dan diperkenalkan dalam bentuk International Seminar yang sebelumnya hanya dihadiri oleh para pimpinan dan dosen PPs. ACIS ke-5 di Makassar telah berhasil mengundang pembicara dari mancanegara dan pesertanya lebih pluralis.

         ACIS mengangkat tema yang berbeda-beda dalam setiap tahun, tergantung tantangan apa yang sedang mendesak untuk direspons. Tahun ini di Bangka Belitung mengambil tema, “Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa,” salah satu sub temanya adalah, “Islam dan Masyarakat Pluralitas.”  Sub tema itu diangkat sebagai respons terhadap sebagian muslim yang alergi terhadap perbedaan pendapat dalam masyarakat muslim sendiri. Bahkan ada kecenderungan menghakimi sesamanya muslim yang tidak sepaham dengan mereka.

         Islam dalam kehidupan bermasyarakat tidaklah tunggal. Islam memang satu tetapi setelah dibumikan dalam kehidupan bermasyarakat akan ditemukan warna-warni yang sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat di mana Islam itu berada. Mengutip pendapat Sahrur, seorang pemikir muslim,

“Di mana kita membahas Islam dan bagaimana membahasnya? Di al-Azhar, al-Zaitun, Najf atau di Mekah, Qum, Bagdad atau di Quds? Apakah kita membahasnya dengan cara pandang al-Syafii atau Maliki? Atau dengan cara pandang kita saat ini? Apakah kita memahami Islam melalui kitab-kitab atau realitas? Jika melalui realitas, realitas mana yang dimaksud? Realitas abad ke tujuh ataukah ke dua puluh?”

        Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan memunculkan refleksi Islam yang bervariasi. Nuansa perbedaan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman, budaya, waktu, dan tempat. Pluralitas dalam bahasa Arab disebut al-taaddudiyah yang oleh Yusuf al-Qardawi menyebutnya sebagai bagian dari sunnatullah.

        Penyabab perbedaan disebabkan tiga hal, yaitu pertama, Al-Qur’an sekalipun disepakati sebagai pedoman hidup yang abadi bagi umat manusia, tetapi untuk membumikannya diperlukan interpretasi sesuai perkembangan masyarakat. Interpretasi itu akan melahirkan pendapat yang berbeda-beda. Jadi, pluralitas dalam pemahaman keagamaan, sesungguhnya dimulai dari dalam al-Qur’an sendiri. Buktinya, Allah swt. menurunkan al-Qur’an dalam bentuk nas-nas yang tidak semuanya muhkamat, qat’iyat, sarih  (jelas), melainkan sebagian mutasyabihat; zanniyat; dan mu’awwal (interpretable). Bahagian-bahagian mutasyabihat; zanniyat; dan mu’awwal inilah yang memberikan ruang kepada para ulama untuk melakukan ijtihad yang bisa menghasilkan pluralitas pendapat. Kedua, Islam memperkenalkan metode ijtihad yang memberi kebebasan berpendapat selain mempertahankan pendapat sebelumnya. Ijtihad adalah metode dinamika berpikir yang bisa melahirkan pandangan-pandangan baru dan membantah kesimpulan sebelumnya. Ketiga, dalam Islam tidak mengenal lembaga kepausan, la rabbaniyata fi al-Islam. Tidak ada seorang muslim pun yang dapat memonopoli kebenaran dan menganggap dirinya sebagai pemilik otoritas keilmuan yang bisa menghakimi orang yang tidak sepaham.

        Pluralitas juga telah berlangsung sepanjang sejarah sejak periode Nabi. Di kalangan para sahabat Nabi memperlihatkan perbedaan pendapat dalam masalah yang sama. Ketika Ibn Kasir menafsirkan QS al-Anfal (8): 67-68 tentang tawanan perang, Rasulullah saw. meminta pendapat kedua sahabatnya; Abu Bakar dan Umar ibn Khattab. Keduanya memiliki pandangan yang bertolak belakang. Abu Bakar menyarankan pada Nabi, “Wahai Rasulullah, mereka adalah kaum dan keluargamu. Biarkanlah mereka hidup dan berilah kesempatan untuk bertaubat, mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.” Umar ibn Khattab berpendapat sebaliknya dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, mereka telah mendustakan dan mengusir dari kampung halamanmu, maka seretlah ke depan dan pancunglah leher mereka.”

        Abdullah sebagai perawi berkata, Rasulullah saw. terdiam dan kemudian masuk ke dalam kemah. Tidak lama kemudian beliau keluar dan berkata kepada Abu Bakar, “Sesungguhnya engkau seperti Isa a.s.,” sambil membacakan QS al-Maidah (5): 118, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Selanjutnya, Nabi berpaling kepada Umar sambil berkata, “Sesungguhnya kamu wahai Umar seperti Musa a.s.,” kemudian membacakan QS Yunus (10): 88, “Musa berkata… Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." Kedua pendapat sahabat yang berbeda di atas, Nabi menghormatinya dan tidak langsung menyalahkan salah satu atau keduanya.

        Perjalanan sejarah Islam menunjukkan, para ulama memiliki tradisi pluralitas dalam paham keagamaan, seperti dalam paham fikih telah melahirkan, paling tidak lima mazhab; Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, dan Ja’fari. Dalam teologi memunculkan beberapa aliran pemikiran; Khawarij, Murjiah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam pemikiran filsafat dan tasawuf telah melahirkan al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Gazali, dan Ibn Rusyd. Dari sini dapat dipahami pandangan Yusuf al-Qardawi bahwa orang yang menginginkan bahwa di dunia Islam hanya satu pendapat saja adalah sebuah mimpi yang mustahil, “lam yakun wuquuhu, tidak mungkin terjadi dalam realitas,” tegas al-Qardawi.

        Tema ACIS di Bangka Belitung selain memperkenalkan sikap toleransi terhadap perbedaan pada masyarakat Islam yang pluralis, sekaligus sebagai respons terhadap sebagian muslim sendiri yang tidak memberi ruang perbedaan dan cenderung menghakimi orang lain. Perbedaan sebagai dikemukakan adalah sunatullah atau sebuah keniscayaan. Dalam buku al-Farqu bain al-Firaq oleh Abu al-Khair bin Thaher al-Bagdadi mencatat golongan Ahlissunnah sendiri terbagi dalam delapan kelompok. Syiah, terdiri atas empat kelompok  yang kemudian setiap kelompok terbagi dalam kelompok-kelompok kecil. Memang, ada perbedaan yang tidak bisa ditoleransi, jika perbedaan tersebut menyangkut masalah usuliyah. Tetapi, masalah usul itu sendiri menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Apa yang dianggap usul oleh sebagian ulama, tetapi ulama yang lain menganggapnya masalah furu.

        Pluralitas tidak seharusnya dihadapi dengan permusuhan, melainkan dengan sikap tasamuh atau toleransi. Sikap toleransi itulah yang membuat Syekh Mahmud Saltut di Mesir tahun pada 1948 mendirikan Lajnah at-Taqrib baina al-Mazahib. Lajnah ini diharapkan menjadi jembatan untuk mendekatkan antara mazhab, terutama mazhab Sunni dan Syiah. Demikian halnya, OKI (Organisasi Konperensi Islam) memprakarsai pertemuan kedua mazhab tersebut di Mekkah 20 Oktober 2006 untuk menghilangkan saling curiga dan mengafirkan keduanya.

        Semoga saja ACIS di Bangka Belitung bisa menghasilkan pandangan Islam yang lebih toleransi, tempat menaburkan benih kasih sayang, dan menjadi rahmat, bukan hanya di antara umat Islam, tetapi rahmat ke seluruh umat manusia.

                                                                              Makassar, 6 Oktober 2011